Refleksi
Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan 1 dan 2, Prof. Dr. Marsigit, M. A.
Kamis,
17 September 2015, ± Pkl. 07.30 – 09.10
Berfilsafat,
Belajar, Bersyukur
Filsafat merupakan cara berpikir kita untuk
menemukan tesis, mencari anti-tesisnya dan kemudian melakukan sintesis. Tesis
meliputi apa yang aku dengar, aku rasa, aku sentuh, aku pikir, aku lihat;
segala hal yang ada dan mungkin ada. Dengan demikian, filsafat mempunyai dua
obyek yakni yang ada dan yang mungkin ada. Apa yang ada tidak terhingga. Semua
yang mungkin ada bergantung kepada dimensi. Apabila kita tidak bisa menyebutkan
isinya, maka sebutlah wadahnya.
Filsafat sendiri merupakan sintesis antara
logika dan pengalaman. Setiap ide, aksioma, ketentuan-ketentuan, dalil-dalil
yang kemudian bercampur dengan tindakan akan menghasilkan sebuah sintesis.
Sintesis yang ada dapat menjadi tesis dan direaksikan kembali dengan antitesis
sehingga menghasilkan sintesis baru, demikian seterusnya. Alat berfilsafat
adalah bahasa analog.
Sebagai contoh:
Tesis :
Batu atau pikiran/logika
Antitesis: Semen atau pengalaman/data
empiris
Sintesis :
Bangunan atau pengetahuan
Berfilsafat berarti berpikir secara terbuka
seluas-luasnya. Demikian karena filsafat merupakan wahana manusia untuk
mencapai kesempurnaan dari ketidaksempurnaan yang malah membuat manusia bisa
hidup karena terbatas dan serba tidak sanggup melakukan apa saja. Untuk
memahami filsafat, kita harus banyak membaca. Oleh karena itu, ada orang
berkata: “Tiadalah berfilsafat tanpa membaca”. Setiap orang berhak membangun
filsafatnya masing-masing, oleh sebab itu, filsafat setiap orang berbeda-beda
tergantung dengan apa yang mereka baca.
Persoalan filsafat ada dua macam, yaitu:
- Kalau yang kamu pikirkan ada dalam pikiranmu, maka persoalan pertama adalah bagaimana kamu mampu menjelaskan pada yang lain. Hal tersebut tentu sulit karena bermilyar-milyar kata tidak akan cukup untuk menjelaskan apa yang ada di pikiranmu. Oleh sebab itu, kita hanya mampu berusaha menjelaskan apa yang ada dalam pikiran kita. Sebenar-benar berfilsafat adalah mencoba menjelaskan walaupun tidak benar-benar mampu untuk menjelaskan. Itulah yang menyebabkan para filsuf menjadi rendah hati karena selalu merasa tidak mampu. “Aku tidak mampu mengetahui apapun” (Aristoteles).
- Persoalan kedua adalah, kalau apa yang kamu pikirkan tidak ada di dalam pikiranmu, maka bagaimana kamu menjelaskan kepada orang lain?
Berfilsafat merupakan sarana kita untuk
mensyukuri nikmat yang tidak terhingga. Nafas, kesehatan dan segala hal yang
ada dan mungkin ada dalam hidup kita. Tidak hanya yang sedang terlihat, tapi
juga yang telah terlihat dan yang akan kita lihat. Oleh sebab itu, filsafat
mengajak kita untuk belajar mempersepsi sesuatu secara multidimensi, dimana
multidimensi, multi kultur merupakan khazanah sintesis dari tesis dengan
antitesis. Adapun cara mensyukuri karunia itu adalah dengan tindakan yang
intesif, ektensif, efisien, efektif dan profesional. Tapi tidak hanya sampai
kepada bersyukur saja, apa yang harus kita lakukan selanjutnya adalah
memperbaiki niat secara berkelanjutan dan tentunya, terus belajar.
Metode belajar yang paling baik itu sesuai
dengan kodrat yang diberikan Tuhan, yaitu metode membangun hidup. Di dalamnya
terjadi interaksi antara satu dan yang lain, yang kedua dan lainnya saling
menjalin interaksi menghasilkan sintesis. Proses belajar sendiri merupakan
interaksi antara sesuatu yang konkrit dan abstrak. Yang perlu kita perhatikan
ketika belajar adalah kejelian untuk dapat menyadari ilmu/ wahyu yang ada
dimana saja. Bagaimana caranya? Dengan berkonsentrasi, memperlebar penglihatan,
pendengaran dan mempertajam daya kritik hal terhadap sesuatu. Sebenar-benar
belajar adalah mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada.
Filsafat mempunyai dua prinsip berfikir,
yaitu:
- 1. Prinsip Identitas
Menurut dua filsuf, prinsip
identitas memaknai bahwa:
a.
Semua ada dalam pikiran. Apa yang
terlihat hanyalah contoh. Prinsip berpikir ini cocok diterapkan pada kegiatan
menggali ilmu. Prinsip ini dikemukakan oleh Plato.
b.
Yang ada adalah yang terlihat,
yang dapat dipersepsi oleh pancaindra. Gaya berpikir ini cocok untuk anak-anak
dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip berpikir ini dikemukakan oleh
Aristoteles.
- 2. Prinsip Kontradiksi
Contoh kasusnya adalah rambut
warna hitam, tapi selamanya sampai kiamat, hitam tidak pernah sama dengan
rambut. Tokoh filsafat yang terkenal dengan prinsip berpikir ini adalah Imanuel
Kant. Prinsip ini memandang sesuatu sebagai subjek, predikat dan objek. Dalam
matematika sendiri, kontradiksi berarti tidak logis. Namun dalam filsafat,
itulah sebenar-benarnya hidup. Karena filsafat percaya bahwa kamu tidak akan
pernah sama dengan namamu. Sangat gegabah, tidak teliti, elementer, novis,
orang yang mengatakan dirinya sama setiap waktu. Hanya Tuhan yang selalu sama,
dalam dimensi manapun.
Kedua prinsip tersebut tetap harus saling berinteraksi supaya lengkap dan utuh hasil pemikiran kita.
Kedua prinsip tersebut tetap harus saling berinteraksi supaya lengkap dan utuh hasil pemikiran kita.
Tidak jarang dalam berfilsafat, orang merasa
bingung, atau bahkan merasa goyah akan pemikirannya sendiri. Karena itu,
sebelum berfilsafat kita harus menetapkan hati sebagai komandan sebelum
mengembarakan pikiran kita laksana layang-layang. Kacaunya pikiran kita
merupakan awal dari sebuah ilmu, tapi jangan sampai kekacauan itu turun ke
dalam hati karena kacaunya hati adalah awal tanda bersemayamnya setan dalam
jiwa. Kita mungkin saja tidak tahu kalau setan mempunyai dimensi, maka setan
dapat berevolusi dan berpikir secara efisien untuk bisa menggoyahkan iman
sesuai kualifikasi yang kita punya. Who
knows?
Befilsafat berarti memaknai bahwa segala hal
mempunyai tingkatan, segala hal memiliki dimensi. Semakin ke bawah, maka
pikiran akan semakin plural. Semakin naik maka pikiran akan menjadi semakin
tunggal, yang dapat kita sebut primakausa yakni sebab yang pertama dan yang
utama.
Tiada pikiran tanpa pengalaman, tiada
pengalaman tanpa pikiran. Maka sebenar-benar ilmu adalah pikiran bersintesis
dengan pengalaman. Apabila pemikiran demikian dapat kita terapkan untuk membuat
sebuah Tesis (karya ilmiah-red), maka sebenar-benar Tesis adalah referensi
berinteraksi dengan bukti-bukti empiris, atau dapat dikatakan sebenar-benar
Tesis adalah landasan teori berinteraksi dengan data lapangan.