Rabu, 14 Oktober 2015

Berfilsafat, Belajar, Bersyukur



Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan 1 dan 2, Prof. Dr. Marsigit, M. A.

Kamis, 17 September 2015, ± Pkl. 07.30 – 09.10

Berfilsafat, Belajar, Bersyukur



Filsafat merupakan cara berpikir kita untuk menemukan tesis, mencari anti-tesisnya dan kemudian melakukan sintesis. Tesis meliputi apa yang aku dengar, aku rasa, aku sentuh, aku pikir, aku lihat; segala hal yang ada dan mungkin ada. Dengan demikian, filsafat mempunyai dua obyek yakni yang ada dan yang mungkin ada. Apa yang ada tidak terhingga. Semua yang mungkin ada bergantung kepada dimensi. Apabila kita tidak bisa menyebutkan isinya, maka sebutlah wadahnya.


Filsafat sendiri merupakan sintesis antara logika dan pengalaman. Setiap ide, aksioma, ketentuan-ketentuan, dalil-dalil yang kemudian bercampur dengan tindakan akan menghasilkan sebuah sintesis. Sintesis yang ada dapat menjadi tesis dan direaksikan kembali dengan antitesis sehingga menghasilkan sintesis baru, demikian seterusnya. Alat berfilsafat adalah bahasa analog.


Sebagai contoh:

Tesis      : Batu                                    atau       pikiran/logika

Antitesis: Semen                              atau       pengalaman/data empiris

Sintesis : Bangunan                         atau       pengetahuan


Berfilsafat berarti berpikir secara terbuka seluas-luasnya. Demikian karena filsafat merupakan wahana manusia untuk mencapai kesempurnaan dari ketidaksempurnaan yang malah membuat manusia bisa hidup karena terbatas dan serba tidak sanggup melakukan apa saja. Untuk memahami filsafat, kita harus banyak membaca. Oleh karena itu, ada orang berkata: “Tiadalah berfilsafat tanpa membaca”. Setiap orang berhak membangun filsafatnya masing-masing, oleh sebab itu, filsafat setiap orang berbeda-beda tergantung dengan apa yang mereka baca. 


Persoalan filsafat ada dua macam, yaitu:

  1. Kalau yang kamu pikirkan ada dalam pikiranmu, maka persoalan pertama adalah bagaimana kamu mampu menjelaskan pada yang lain. Hal tersebut tentu sulit karena bermilyar-milyar kata tidak akan cukup untuk menjelaskan apa yang ada di pikiranmu. Oleh sebab itu, kita hanya mampu berusaha menjelaskan apa yang ada dalam pikiran kita. Sebenar-benar berfilsafat adalah mencoba menjelaskan walaupun tidak benar-benar mampu untuk menjelaskan. Itulah yang menyebabkan para filsuf menjadi rendah hati karena selalu merasa tidak mampu. “Aku tidak mampu mengetahui apapun” (Aristoteles). 
  2.   Persoalan kedua adalah, kalau apa yang kamu pikirkan tidak ada di dalam pikiranmu, maka bagaimana kamu menjelaskan kepada orang lain?

Berfilsafat merupakan sarana kita untuk mensyukuri nikmat yang tidak terhingga. Nafas, kesehatan dan segala hal yang ada dan mungkin ada dalam hidup kita. Tidak hanya yang sedang terlihat, tapi juga yang telah terlihat dan yang akan kita lihat. Oleh sebab itu, filsafat mengajak kita untuk belajar mempersepsi sesuatu secara multidimensi, dimana multidimensi, multi kultur merupakan khazanah sintesis dari tesis dengan antitesis. Adapun cara mensyukuri karunia itu adalah dengan tindakan yang intesif, ektensif, efisien, efektif dan profesional. Tapi tidak hanya sampai kepada bersyukur saja, apa yang harus kita lakukan selanjutnya adalah memperbaiki niat secara berkelanjutan dan tentunya, terus belajar.


Metode belajar yang paling baik itu sesuai dengan kodrat yang diberikan Tuhan, yaitu metode membangun hidup. Di dalamnya terjadi interaksi antara satu dan yang lain, yang kedua dan lainnya saling menjalin interaksi menghasilkan sintesis. Proses belajar sendiri merupakan interaksi antara sesuatu yang konkrit dan abstrak. Yang perlu kita perhatikan ketika belajar adalah kejelian untuk dapat menyadari ilmu/ wahyu yang ada dimana saja. Bagaimana caranya? Dengan berkonsentrasi, memperlebar penglihatan, pendengaran dan mempertajam daya kritik hal terhadap sesuatu. Sebenar-benar belajar adalah mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada.


Filsafat mempunyai dua prinsip berfikir, yaitu:

  • 1.       Prinsip Identitas

Menurut dua filsuf, prinsip identitas memaknai bahwa:

a.       Semua ada dalam pikiran. Apa yang terlihat hanyalah contoh. Prinsip berpikir ini cocok diterapkan pada kegiatan menggali ilmu. Prinsip ini dikemukakan oleh Plato.

b.      Yang ada adalah yang terlihat, yang dapat dipersepsi oleh pancaindra. Gaya berpikir ini cocok untuk anak-anak dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip berpikir ini dikemukakan oleh Aristoteles.

  • 2.       Prinsip Kontradiksi

Contoh kasusnya adalah rambut warna hitam, tapi selamanya sampai kiamat, hitam tidak pernah sama dengan rambut. Tokoh filsafat yang terkenal dengan prinsip berpikir ini adalah Imanuel Kant. Prinsip ini memandang sesuatu sebagai subjek, predikat dan objek. Dalam matematika sendiri, kontradiksi berarti tidak logis. Namun dalam filsafat, itulah sebenar-benarnya hidup. Karena filsafat percaya bahwa kamu tidak akan pernah sama dengan namamu. Sangat gegabah, tidak teliti, elementer, novis, orang yang mengatakan dirinya sama setiap waktu. Hanya Tuhan yang selalu sama, dalam dimensi manapun.
Kedua prinsip tersebut tetap harus saling berinteraksi supaya lengkap dan utuh hasil pemikiran kita.


Tidak jarang dalam berfilsafat, orang merasa bingung, atau bahkan merasa goyah akan pemikirannya sendiri. Karena itu, sebelum berfilsafat kita harus menetapkan hati sebagai komandan sebelum mengembarakan pikiran kita laksana layang-layang. Kacaunya pikiran kita merupakan awal dari sebuah ilmu, tapi jangan sampai kekacauan itu turun ke dalam hati karena kacaunya hati adalah awal tanda bersemayamnya setan dalam jiwa. Kita mungkin saja tidak tahu kalau setan mempunyai dimensi, maka setan dapat berevolusi dan berpikir secara efisien untuk bisa menggoyahkan iman sesuai kualifikasi yang kita punya. Who knows?


Befilsafat berarti memaknai bahwa segala hal mempunyai tingkatan, segala hal memiliki dimensi. Semakin ke bawah, maka pikiran akan semakin plural. Semakin naik maka pikiran akan menjadi semakin tunggal, yang dapat kita sebut primakausa yakni sebab yang pertama dan yang utama.

Tiada pikiran tanpa pengalaman, tiada pengalaman tanpa pikiran. Maka sebenar-benar ilmu adalah pikiran bersintesis dengan pengalaman. Apabila pemikiran demikian dapat kita terapkan untuk membuat sebuah Tesis (karya ilmiah-red), maka sebenar-benar Tesis adalah referensi berinteraksi dengan bukti-bukti empiris, atau dapat dikatakan sebenar-benar Tesis adalah landasan teori berinteraksi dengan data lapangan.