Rabu, 20 Januari 2016



TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
REFLEKSI MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Marsigit, M. A.



 








Disusun oleh:
Tyas Kartiko Sutawi
15701251006

PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015



Pendahuluan
Mata kuliah ini diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, M. A. Perkuliahan Filsafat Ilmu dilaksanakan setiap hari Kamis pukul 07.30 – 09.10 di ruang 306 A Gedung Lama Pascasarjana.
Filsafat Ilmu merupakan salah satu mata kuliah yang didapatkan oleh setiap mahasiswa magister di awal semester. Semula, saya menganggap bahwa filsafat merupakan sebuah ilmu yang berat, yang sudah jelas bagaimana awalnya, tetapi menjadi tidak jelas pada akhirnya. Hal tersebut diperkuat oleh beberapa sesi tanya jawab singkat yang membuat saya kebingungan. Bagaimana istilah filsafat dari berbagai disiplin ilmu, siapa tokoh dari filsafat tertentu, maupun siapa tokoh yang berbicara jargon tertentu.
Salah satu tes jawab singkat yang saya ingat adalah tentang bagaimana saya mengenal filsafat sekaligus diri saya sendiri. Siapa saya dijawab oleh filsafat sebagai saya yang relatif ruang dan waktu. Usia saya dijawab sebagai kurang lebih. Ada banyak pertanyaan dan jawaban yang membuat saya agak sedikit berfikir, filsafat itu seperti apa? Bagaimana menjawab semua pertanyaan yang Bapak berikan dengan baik dan benar, sehingga tidak akan mendapat nilai 0? Dan yang terakhir adalah, bagaimana saya bisa lulus dalam mata kuliah ini?



Perkuliahan Filsafat Ilmu
Dalam praktiknya, kuliah Filsafat Ilmu tidak selalu memiliki pola yang sama di setiap perkuliahannya. Hal tersebut dibeberkan oleh Prof. Marsigit selaku pengampu mata kuliah ini, sebagai upaya pemecahan mitos yang sering terjadi dalam kegiatan perkuliahan yang lain. Setiap pertemuan diawali oleh doa. Kegiatan selanjutnya tidak selalu sama setiap kali pertemuan. Kadang-kadang dilakukan tes jawab singkat untuk mengenal filsafat lebih dalam, kadang-kadang juga Prof. Marsigit menjelaskan materi. Seringkali Prof. Marsigit juga memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mempersiapkan pertanyaan dan kemudian mempersilakan mahasiswanya untuk bertanya sebelum akhirnya memilih penanya secara random.
Perkuliahan Filsafat Ilmu dibagi ke dalam beberapa kali pertemuan. Beberapa pertemuan memiliki rekaman untuk dapat didengarkan kembali di rumah dan kemudian direfleksikan. Setiap mahasiswa bebas untuk memilih sendiri judul dari setiap refleksi yang mereka buat.
Pertemuan pertama membahas mengenai berfilsafat, belajar dan bersyukur, dilanjutkan dengan beberapa pertemuan berikutnya yang membahas mengenai menembus ruang dan waktu. Dalam pertemuan ini, Prof. Marsigit menjelaskan mengenai filsafat. Filsafat merupakan cara berpikir kita untuk menemukan tesis, mencari anti-tesisnya dan kemudian melakukan sintesis. Tesis meliputi apa yang kita dengarkan, kita rasakan, kita sentuh, kita pikirkan, kita lihat, dan berarti bahwa tesis merupakan segala hal yang ada dan mungkin ada. Itulah sebabnya filsafat mempunyai dua obyek yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Obyek tersebut tidak berhingga karena memiliki sifat yang juga tidak berhingga, karena mencakup yang ada dan yang mungkin ada. Makin tinggi dimensi seseorang, maka semakin siap dia menyebutkan lebih banyak obyek dibanding mereka yang dimensinya lebih rendah. Setiap obyek memiliki wadah dan isinya masing-masing. Apabila tidak bisa menyebutkan isinya, maka sebut saja wadahnya.
Filsafat merupakan sebuah sintesis dari obyek-obyek yang ada dan yang mungkin ada tersebut. Filsafat merupakan sintesis dari logika dan pengalaman. Jika hanya sintesis dari logika saja, maka itu barulah separuh dunia. Jika hanya sintesis dari pengalaman saja, itupun masih baru separuh dunia saja. Akan lengkap apabila hidup kita diisi oleh berbagai sintesis antara logika dan pengalaman. Itulah mengapa kita harus selalu mencari ilmu (pengetahuan) sekaligus pengalaman hidup sehingga pemahaman kita akan dunia dapat menggapai genap. Harus ada interaksi antara yang tetap dan yang berubah. Itulah sebenar-benar hidup.
Yang tetap itu tokohnya Permenides, yang berubah Heraklitos. Yang itu bersifat ideal, tokohnya Plato. Sedangkan  yang berubah bersifat realis, tokohnya Aristoteles. Tetap dan ideal itu salah satu sifat daripada pikiran. Berubah atau realis adalah salah satu sifat dari pengalaman atau berada di luar pikiran. Pikiran menghasilkan aksioma, sedangkan realis menghasilkan kenyataan. Benarnya kenyataan, tetap, aksioma, pikiran, ideal itu adalah konsisten. Benarnya realis, berubah, pengalaman itu adalah korespondensi atau kecocokan.
Ada dua macam persoalan filsafat, yaitu: Kalau yang kamu pikirkan ada dalam pikiranmu, maka persoalan pertama adalah bagaimana kamu mampu menjelaskan pada yang lain. Hal tersebut tentu sulit karena bermilyar-milyar kata tidak akan cukup untuk menjelaskan apa yang ada di pikiranmu. Oleh sebab itu, kita hanya mampu berusaha menjelaskan apa yang ada dalam pikiran kita. Sebenar-benar berfilsafat adalah mencoba menjelaskan walaupun tidak benar-benar mampu untuk menjelaskan. Itulah yang menyebabkan para filsuf menjadi rendah hati karena selalu merasa tidak mampu. “Aku tidak mampu mengetahui apapun” (Aristoteles). Persoalan kedua adalah, kalau apa yang kamu pikirkan tidak ada di dalam pikiranmu, maka bagaimana kamu menjelaskan kepada orang lain?
Dengan berfilsafat, kita mempunyai kesempatan untuk dapat berfikir secara intensif (sedalam-dalamnya) dan secara ekstensif (seluas-luasnya). Dengan demikian, filsafat membuka kesempatan bagi kita untuk berfikir secara terbuka, meluas dan menyeluruh tentang berbagai fenomena maupun noumena yang terjadi dalam hidup kita.
Sebuah filsafat dipengaruhi oleh cara pandang yang berbeda, karena subyek yang berfilsafatpun berbeda. Hal tersebut dikarenakan setiap orang mempunyai filsafatnya masing-masing. Makin tinggi dimensi seseorang, maka semakin lengkap pula filsafat yang orang tersebut coba untuk bangun. Oleh sebab itu, kita perlu menggunakan metode hermeneutika, yaitu metode menerjemahkan-diterjemahkan. Untuk mendukung pelaksanaan metode tersebut, maka kita perlu melakukan up-grade pengetahuan, salah satunya adalah dengan banyak membaca.
Membaca merupakan salah satu hal yang terus ditekankan oleh Prof. Marsigit dalam setiap pertemuannya. Hal tersebut berkaitan dengan tugas yang diberikan oleh Prof. Marsigit untuk berkomentar dalam artikel yang beliau tuliskan dalam blognya, yaitu www.powermathematics.blogspot.com. Ada ratusan artikel yang membahas mengenai berbagai fenomena pendidikan baik itu matematika atau umum, maupun berbagai istilah-istilah filsafat, cara pandang filsuf dan artikel lain yang berbentuk bacaan.
Prof. Marsigit mempunyai penilaian tertentu mengenai jumlah komentar yang harus diposting oleh mahasiswa. Mula-mula, penilaian tersebut saya anggap terlalu berat, karena jika ingin mendapatkan nilai yang baik, maka jumlah komentar juga harus banyak. Ditambah lagi, komentar yang diharapkan oleh Prof. Marsigit bukanlah hanya sekedar komentar seperti dalam jejaring sosial, tetapi komentar yang lebih bermutu. Memang, filsafat merupakan oleh pikir, sehingga berkomentar dapat menjadi sarana bagi mahasiswa, khususnya saya, untuk belajar berfilsafat, belajar melakukan olah pikir dan belajar menyintesiskan tesis dan antitesisnya sehingga terbentuklah sebuah konsep atau pemikiran tentang suatu hal.
Filsafat mempunyai dua prinsip berfikir, yaitu:
1.    Prinsip Identitas
Menurut dua filsuf, prinsip identitas memaknai bahwa:
a.    Semua ada dalam pikiran. Apa yang terlihat hanyalah contoh. Prinsip berpikir ini cocok diterapkan pada kegiatan menggali ilmu. Prinsip ini dikemukakan oleh Plato.
b.    Yang ada adalah yang terlihat, yang dapat dipersepsi oleh pancaindra. Gaya berpikir ini cocok untuk anak-anak dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip berpikir ini dikemukakan oleh Aristoteles.
Kedua prinsip tersebut tetap harus saling berinteraksi supaya lengkap dan utuh hasil pemikiran kita.
2.    Prinsip Kontradiksi
Contoh kasusnya adalah rambut warna hitam, tapi selamanya sampai kiamat, hitam tidak pernah sama dengan rambut. Tokoh filsafat yang terkenal dengan prinsip berpikir ini adalah Imanuel Kant. Prinsip ini memandang sesuatu sebagai subjek, predikat dan objek. Dalam matematika sendiri, kontradiksi berarti tidak logis. Namun dalam filsafat, itulah sebenar-benarnya hidup. Karena filsafat percaya bahwa kamu tidak akan pernah sama dengan namamu. Sangat gegabah, tidak teliti, elementer, novis, orang yang mengatakan dirinya sama setiap waktu. Hanya Tuhan yang selalu sama, dalam dimensi manapun.
Kedua prinsip berpikir tersebut dapat menjadi dasar bagi kita seorang guru, untuk memahami gaya belajar anak didik kita sehingga kita dapat mengajar dengan baik dan benar. Demikian karena, banyak sekali guru yang  tidak mau tahu bagaimana atau seperti apa karakter anak didik mereka. Seringkali guru tidak memandang anak-anak sebagaimana halnya seorang anak yang hanya dapat belajar dengan baik jika disertai oleh pengalaman nyata tentang apa yang sedang mereka pelajari.
Filsafat memberikan berbagai macam pandangan tentang segala sesuatu menurut cara pandang seorang filsuf. Filsafat dapat kita gunakan untuk memandang segala hal yang ingin kita lihat dan kita temui dalam hidup ini. Seperti misalnya dalam dunia pendidikan, banyak pula guru yang tidak mengerti akan fallibisme. Fallibisme mempercayai bahwa jika anak salah, itu adalah benar. Adalah benar jika seorang anak tidak merasa mengerti sebuah konsep dalam pembelajaran apabila itu memang belum masanya bagi anak itu untuk menerima materi tersebut. Adalah benar jika seorang anak tidak mampu menyanyikan sebuah lagu dengan baik dan benar apabila tidak diajari dulu bagaimana mengontrol intonasi.
Berfilsafat berarti memaknai bahwa segala hal mempunyai tingkatan, segala hal memiliki dimensi. Semakin ke bawah, maka pikiran akan semakin plural. Semakin naik maka pikiran akan menjadi semakin tunggal, yang dapat kita sebut primakausa yakni sebab yang pertama dan yang utama. Tiada pikiran tanpa pengalaman, tiada pengalaman tanpa pikiran. Maka sebenar-benar ilmu adalah pikiran bersintesis dengan pengalaman. Apabila pemikiran demikian dapat kita terapkan untuk membuat sebuah Tesis (karya ilmiah-red), maka sebenar-benar Tesis adalah referensi berinteraksi dengan bukti-bukti empiris, atau dapat dikatakan sebenar-benar Tesis adalah landasan teori berinteraksi dengan data lapangan.
Sebuah sintesis dapat menjadi sebuah tesis baru dan kemudian dapat kembali melakukan sintesis sehingga menghasilkan ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan baru. Hakikat ilmu atau pengetahuan pada akhirnya adalah sintetik apriori. Sintetik itu bawah, apriori itu atas. Sintetik itu dunia, apriori pikiran, khayalan sampai akhirat. Sintetik itu paham setelah melihat, mendengar, dipegang, diminum dan berlaku hukum sebab akibat. Apabila diekstensikan, sintetik itu: dunia, pengalaman, benda, tumbuhan, binatang, semua isi dunia. Satu makna disitu berlaku hukum “ tiadalah segala sesuatu itu berdiri sendiri”. Artinya bahwa ketika aku minum air terasa manis, manisnya gula dikarenakan air. Aku bisa minum air karena gelas. Gelas ini karena kaca dst. Jadi setiap yang ada dan yang mungkin ada, yang bisa dikatakan/ditunjuk adalah wakil daripada dunianya. Maka dapat pula kita tambahkan kata ‘dunia’ di setiap apa yang ada dan yang mungkin ada. Dunia seni, dunia pendidikan, dunia anak, karena yang ada dan yang mungkin ada mewakili dunianya. Apabila ditarik ke depan, maka dapat ditambahkan filsafat. Filsafat seni itu apa, filsafat pengalaman itu apa, dll. Semua hal tersebut harus dicari. Setiap hal memiliki makna tertentu tergantung persepsi kita tentang sesuatu tersebut. Tidak ada yang berdiri sendiri, isolated. Semua bermakna karena ada makna yang lain. Kita mempunyai rasa gembira karena kita mengenal kesedihan. Maka ketika mengajar, berilah siswa pengalaman yang lengkap sesuai ruang dan waktunya.
Segala hal yang ada dan yang mungkin ada mempunyai dua sifat. Selalu bersifat wadah dan isi sekaligus. Apa yang kita tunjuk adalah isi sekaligus wadah. Apa yang kita tunjuk mempunyai sifat yang tetap dan berubah sekaligus, bersifat koeksisten. Salah satu sifat secara psikologi, yang merupakan persepsi. Maka yang ada di bawah, di bumi itu dunia persepsi, karena bisa dipahami setelah dipersepsi. Dunia yangdi bawah, sintetik tadi dapat menjadi aposteriori. Yang di atas analitik apriori.
Sebagai contoh untuk Aposteriori, kita bisa merasakan manis dalam air teh karena telah meminumnya. Secara Apriori, belum diminum pun sudah bisa menentukan kalau itu manis, memakai logika. Apriori bisa menjadi bahaya bila tidak digunakan secara sesuai, contohnya cari jodoh di media sosial. Analitik yang dipikirkan itu dasarnya konsistensi. Konsistensi, matematika, logika semuanya koheren, tidak terjadi kontradksi. Kalau orang memasukkan gula ke dalam iair, logikanya maka akan manis. Itu konsisten, kebenaran. Orang yang mencari kebenaran kalau hanya memakai pikiran saja tidak cukup. Bahkan kebenaran saja tidak cukup. Maka dari itu filsafat memberikn kesempatan untuk bereksperimen. Hidup ini kalau hanya pikiran saja: apa yang terjadi, kalau hanya pengalaman saja: apa yang terjadi? Pengetahuan akan lebih kokoh, karena dilogikakan dan disertai pengalaman.
Pengalaman itu separuh dunia. Membangun pengetahuan itu separuhnya pengalaman separuh lagi di atas adalah logika. Maka berfilsafat itu adalah praktik dari pikiran dan pengalaman kita. Jadi itu dinamika setiap hari. Maka sebenar-benar hidup adalah interaksi antara olah pikir dan pengalaman.
Dokter yang melayani kesehatan lewat radio melayani praktik via telpon dimana dia menggunakan metode analitik apriori. Apriori bisa memikirkan walaupun tidak melihat pasirn. Hanya dari pengetahuan kedokteran. Tapi sebaliknya dokter hewan. Meriksa sapi yang sakit. Tidak bisa ditanya sang sakit, setelah dipegang dilihat, baru dapat dipikirkan sakitnya sapi itu. Dokter menggunakan sintetetik aposteriori, kehidupan pengalaman, yang di atas naik ke atas cenderung konsisiten, naik lagi spiritual, naik terus nilai kebenaran adalah tunggal monoisme kuasa Tuhan. Diturunkan terus ke bawah sintetik apriori, dunia kontradiksi ada di hidup ini, segalanya berubah sesuai dengan ruang dan waktunya, sesuai dengan dimensinya.
Imanuel Kant  berusaha mendamaikan langit dan bumi. Langit itu konsisten, dewa itu konsisten. Semakin tinggi, semakin kecil kontradiksi, sebenar-benar tidak ada kontrasiksi absolut itu hanyalah Tuhan. Semakin turun semakin besar kontradiksi. Maka kontradiksi itu adalah predikatnya. Kant mendamaikan kedua dunia tersebut dengan mengambil aproiri dari atas, dan  diambillah sintetik dari dunia bawah. Sebuah ilmumu akan lengkap dan kokoh kalau bersifat sintetik apriori. Jadi orang matematika murni tidak bahagia karena tidak bisa dikatakan sebagai ilmu saja. Oleh karena itu ada metode saintifik, dicoba itu sintetik, disimpulkan apriori. Sifatnya pengetahuan yang di dalam pikiran itu analitik, ukuran kebenarannya konsistensi, sedangkan sifat dari pengetahuan pengalaman adalah sintetik dan tidak boleh bersifat kontradiksi. Tapi dengan kontradiksi akan muncul produk baru. Jadi kalau identitias itu hanya malaikat, imannya tetap menurut para Kiai. Tapi manusia kontradiktif karena imannya naik-turun.
Jika kita membahas filsafat dari awal sampai akhir, kita dapat menemukan bahwa, jika yang diatas ditarik ke belakang, akan selaras dengan hal-hal yang ada dalam pikiran. Itulah mengapa matematika murni itu obyeknya benda pikir, karena terbebas ruang dan waktu. Itulah duina pikiran bersifat ideal, tetap, menuju kesempurnaan. Maka itu akan tersapu habis semua tokoh filsafat  sampai ujung yunani sana yang berkemistri dengan ide –ide dalam pikiran, mulai dari absolutisme, tetap dengan tokoh Permenides, rasionalisme yaitu Rene Descartes, perfecsionisme dst. Karena semakin ke atas, dunia semakin berupa dunia transenden, maka semua filsuf yang berchemistry dengan transenden itu termasuk golongan langit. Ini adalah termasuk ilmu – ilmu filsafat juga, spiritual, ilmunya para dewa.
Sebagai seorang guru maupun calon guru, kita dapat pula menjumpai uniknya pendidikan karena kita berkutat dengan dunia dan kegiatan anak kecil. Anak kecil itu dunia bawah. Dunia di luar pikiran, konkrit, dunia pengalaman, ilmu bagi anak kecil bukan ilmu orang dewasa. So, art is for art, music is music, itu hanya untuk orang dewasa. Seni hanya untuk dipandang merupakan seni bertaraf medium. Jika ingin membuat sebuah pameran untuk anak kecil, harus disesuaikan pula dengan kebutuhan dan pola pikir anak kecil. Tidak boleh marah ketika sedang mengadakan konser bertemakan dunia anakdan mengundang anak-anak, ada banyak anak-anak yang berlari-lari atau ikut menari atau ikut bernyanyi ketika musik sedang dimainkan.
Hakikat ilmu untuk anak adalah activity. Seninya anak kecil itu activity. Anak kecil tidak akan mengerti bila guru memberikan teori tentang seni. Anak tidak akan bisa menjawab seni itu apa, musik itu apa, jika tidak pernah bermain musik, tidak pernah memainkan alat musik, atau tidak pernah mendengar musik dalam kegiatan pembelajaran mereka.
Sayangnya, pendidikan kita itu relevan dengan UAN. Secara kontradiktif, ujian akhir tersebut tidak mendukung proses pembelajaran berbasis kreatifitas dalam berkegiatan. Intuisi anak tercerabut, dan secara tidak langsung dipaksa untuk berperilaku secara instan dan tidak sehat masuk dunianya orang dewasa. Visi yang mulia bagi pendidik adalah bagaimana bisa melindungi anak didik dari kesemena-menaan metode mendidik yang tidak mendukung dunia anak dalam pendidikan.
Mendidik itu bukan merupakan sebuah ambisi untuk menjadikan siswa sama seperti gurunya. Mendidik adalah mencari cara supaya siswa dapat berkembang menjadi dirinya sendiri, sesuai dengan karakter kebangsaan yang seharusnya kita masukkan juga dalam pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Fungsi guru adalah memfasilitasi. Guru harus bekerja dengan menggunakan prinsip ada, mengada dan pengada. Ada itu potensi, mengada itu ikhtiar, dan pengada adalah produknya.
Ilmu dan hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ilmu pengetahuan subyektif dan ilmu pengetahuan obyektif. Setiap ilmu yang kita miliki hasil daripada sintesis kita hanya baru menjadi sebuah pengetahuan subyektif saja, karena hanya kita yang mempunyai kebenaran akan ilmu tersebut. Pengetahuan subyektif tersebut harus kita sosialisasikan untuk kemudian dikritisi oleh orang lain atau pakar-pakar supaya dapat menjadi sebuah pengetahuan obyektif. Proses obyektivitas pengetahuan tersebut memberikan kesempatan bagi kita untuk juga sekaligus dapat belajar menerima kesalahan dan memperbaikinya, bukannya bersungut-sungut mempertahankan apa yang kita percayai adalah kebenaran mutlak, menurut pandangan kita sendiri.
Sebuah pandangan pribadi tidak bisa dipaksakan menjadi sebuah kebenaran bagi orang lain, karena pandangan pribadi memiliki kelemahan. Setiap manusia tidaklah sempurna sehingga tidak dapat memikirkan segala sesuatu secara bersamaan. Manusia akan selalu melakukan reduksi dalam hidupnya sehari-hari. Reduksi itu dapat mencakup wadah maupun isi, obyek maupun subyek. Yang berbahaya adalah ketika manusia menganggap hasil reduksi tentang hidupnya tersebut merupakan sebuah standar bagi kehidupan orang lain. Dalam kegiatan pembelajaran, guru tidak mungkin lepas dari kegiatan reduksi. Reduksi materi pembelajaran, reduksi waktu pembelajaran, reduksi budget pembelajaran ataupun reduksi sifat dari subyek yang belajar. Guru seringkali memandang siswa secara reduksi. Siswa tersebut selalu mendapat nilai buruk, pasti karena malas. Siswa tersebut pintar karena selalu mendapat nilai yang baik. Siswa tersebut pendiam karena tidak memiliki minat dan motivasi.
Ada banyak sekali reduksi guru yang membahayakan hidup siswa secara keseluruhan, atau bahkan bisa pula mempengaruhi mental belajar si anak. Nilai buruk anak bukan berarti karena dia malas, tapi bisa dikarenakan dia rajin membantu orangtua membiayai hidup mereka sehingga tidak sempat mengulang pelajaran di rumah. Siswa yang selalu mendapat nilai baik belum tentu pintar, karena bisa saja dia selalu mencontek dan mendapatkan jawaban sebelum waktunya. Siswa pendiam belum tentu tidak memiliki minat dan motivasi, karena mungkin saja dia berminat dan termotivasi tetapi tidak mengerti apa yang guru jelaskan dan malu untuk bertanya.
Perlunya mempelajari filsafat, apalagi bagi kita seorang guru maupun calon guru adalah bagaimana dengan berbagai macam pandangan, khususnya pandangan para filsuf, kita dapat memahami fenomena yang ada di sekitar kita, khususnya dalam bidang pendidikan. Tiadalah berfilsafat apabila tidak melalui filsafat para filsuf.
Setiap yang ada dan mungkin ada adalah wakil dari dunianya, maka filsuf adalah wakil dari dunianya. Maka dari itu, filsafat tidak boleh pilih-pilih. Jika ingin belajar kontempoter pasti tetap membahas yang klasik. Ingin belajar Aristoteles pasti melalui Descartes. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa para filsuf mempunyai kebenarannya masing-masing. Jangankan para filsuf, para dosen, guru, bahkan mahasiswa dan siswa pun mempunyai kebenarannya masing-masing. Hanya masalah  taraf bacaan, pikiran, ruang dan dimensi saja yang membedakan.
Dalam perjalanan untuk berfilsafat, ada empat godaan ketika ingin mengintensifkan dan mengekstensifkan filsafat, yaitu: latarbelakang dirimu (menganggap dirimu benar), godaan panggung (apa yang orang katakan pada khalayak kemudian berlaku), godaan pasar (apa yang dipikirkan hirukpikuk masyarakat), godaan otoritas (selalu ikut atasan). Itulah godaan orang mencari kebenaran. Setiap orang dapat mempunyai otoritas masing-masing. Hal tersebutlah yang memberikan jalan untuk terciptanya sebuah mitos.
Berfilsafat merupakan sebuah sarana bagi kita untuk mengubah mitos menjadi logos. Hanya saja, terkadang orang merasa bingung, bagaimana cara melakukannya melalui filsafat. Dalam filsafat, segala sesuatu itu mempunyai struktur. Pagi dan sore itu struktur dunia. Siang dan malam itu juga adalah struktur dunia. Laki-laki perempuan itu struktur dunia. Logika pengalaman itu struktur dunia. Dalam filsafat, kita lakukan abstraksi, mana struktur yang bisa dipakai untuk membangun dunia. Dari abstraksi tersebut, dapat kita temukan bahwa strukturnya para filsuf dapat kita pakai untuk membangun. Itulah strukturnya. Segala sesuatu, baik itu dunia maupun akhirat, adalah penuh dengan struktur.
Jadi secara filsafat apabila ingin menjawab suatu pertanyaan, begitu kita bertanya di satu tempat,dengan kesadaran full of structure tersebut, pertanyaan tersebut bisa menjadi terang benderang kedudukannya. Misalnya, wadah itu ada dimana? Tergantung strukturnya, bisa siang bisa malam, bisa laki bisa perempuan. Kelembutan itu wadahnya perempuan. Kesigapan dan keperkasaan  itu laki-laki. Dia perkasa tapi penakut, berarti wadahnya, isinya penakut, kontradiksi.
Apabila berhubungan dengan pikiran dan pengalaman, wadah itu ada dimana pengalaman atau pikiran? Ternyata wadah itu ada di mana-mana. Yang kita pikirkan dan katakan itu adalah wadah sekaligus isi. Kenapa isi? Karena setiap kali kita sebutkan itu mempunyai sifat. Segala sesuatu mempunyai sifat. Merah saja dapat mempunyai bermilyar sifatnya. Maka dunia itu adalah penuh dengan sifat. Setiap sifat adalah wakil dari strukturnya. Maka sebenar-benar hidup adalah sifat itu sendiri. Jadi kita dapat selalu bisa mendefinisikan apa itu hidup dari yang ada dan yang mungkin ada. Maka berfilsafat itu tujuannya menyadari adanya struktur.
Apabila ingin mengukur, filsafat merupakan olah pikir yang sederhana sekaligus kompleks. Menurut Prof. Marsigit, filsafat itu sederhana sekali, cuma olah pikir, berpikir reflektif. Ketika kamu mengerti, maka kamu sedang berpikir. Apabila ditambahkan lagi, pilar filsafat ada tiga, yakni epistemologi, ontologi dan aksiologi. Kompleks, karena intensif, sedalam-dalamnya bersifat radic, maka ada istilah radikalisme. Ekstensif, karena luas seluas-luasnya, meliputi dunia dan akhirat, yang masih bisa kita jangkau melalui pikiran.
Setelah kita tidak mampu memikirkannya, yasudah, gunakan alat yang lain, yakni spiritualitas. Dalam rangka menggapai kebenaran itu, Francis Bacon mengatakan bahwa: “knowledge is power”. Manusia harus mampu menghadapi dan menyelesaikan kendala-kendala yang ada dalam setiap proses tersebut. Itu harus kita cerna dan kita telaah. Jangan hanya berikhtiar dalam mimpi, karena mimpi itu tidak bisa diukur konsistensinya, tidak koheren. Mimpi itu sebagian dari pengalamn tapi tidak sepenuhnya, jadi tidak korespondensi. Mimpi itu bukan persepsi, bisa diterangkan melalui teori berpikir.
Dalam sejarahnya berfilsafat, kita dapat bertemu dengan sebuah bendungan Compte. Segala macam persoalan mulai di situ. Compte berpendapat bahwa agama tidak bisa dipakai untuk membangun dunia karena tidak logis, irasional. Apabila ingin membangun dunia, kita harus memakai metode positivisme atau dikenal dengan metode saintifik. Saintifik itu asal mula dari positivisme.
Didukung oleh ilmu dasar sehingga menghasilkan teknologi. Ini menjadi paradigma alternatif, termasuk Indonesia. Indonesia dicerminkan oleh struktur material, formal, normatif dan spiritual. Itu merupakan cita-cita dari filsafat Pancasila atau monodualis. Aku dengan Tuhan serta aku dan masyarakatku. Namun melintaslah positivisme yang tidak kita sadari. August Compte dengan positivisme itu telah menjelma menjadi powernow. Mulai dari bangunan archaic, tribal, tradisional, feodal, modern, postmodern, dst atau kita bahasakan sebagai power now. Indonesia tidak mempunyai gambaran dalam struktur powernow, kecuali mendapat limbah dari powernow. Semua struktur itu berpilarkan kapitalisme, pragmatisme, utilitarianisme, hedonisme, materialisme, liberalisme, saintisisme kemudian saintifik. Jadi metode saintifik itu adalah lambang ketidakberdayaan Indonesia bergaul dengan powernow. Contohnya adalah orang yang melupakan realitas hidup gara-gara HP baru. Bukan di Perancis, tapi di sini. Apabila sampai lupa beribadah, maka spiritualisme sudah dimarjinalkan, sudah termakan produk hedonisme itu.
Apabila diandaikan, kita adalah ikan yang tinggal dalam polusi kontemporer. Kita bukan sembarang ikan. Maka dikisahkan cerita Dewa Ruci. Sang Bima mencari ilmu di dasar laut, banyu panguripan, air yang belum tercemar. Padalah tidak sembarang ikan bisa turun ke dasar sana. Harus pakai ilmu dan pengetahuan. Seperti diri kita, tergelepar seperti ikan. Seperti Bima, kita harus paham dan melampaui kontradiksi. Hidup ini adalah kontradiksi. Contohnya adalah orang yang masuk ke air, keluar sudah telentang. Berarti dia tidak menggunakan teknologi. Filsafat mencoba membuat teknologi supaya ketika masuk ke dalam air, bisa selamat dan survive. Jadi berfilsafat itu mencari alat. Sehingga kita bisa memilih dan memilah, tidak hanya sekedar limbah kapital atau hedonis dst saja. Contohnya kesibukan kita menghalangi kewajiban sebagai anggota masyarakat atau keluarga. Maka kita harus seimbang interaksi antara makro dan mikro.
Setiap hari Indonesia digempur oleh Power Now sehingga tidak mempunyai jati diri. Dipengaruhi juga oleh pemimpin sejak dari jaman dulu yang banyak tergoda. Indonesia bergaul dengan mereka tidaklah murah. Bahasanya hanya satu, yaitu investasi. Tapi hal tersebut belum tentu bisa menghibur. Indonesia belum bisa menjawab tantangan karena Indonesia belum berkarakter,masih menjadi objek dari subjeknya, sehingga begini salah, begitu salah, apalagi begini. Orang jawa punya solusi ngono yo ngono ning ojo ngono. Tapi itu merupakan solusi orang lemah. Kita bergaul dengan mereka harus penuh dengan sesaji. Itulah kita itu bangsa yang lemah sehingga pakarnya menjadi lemah, pemikirnya menjadi lemah, saintifiknya tidak berkarakter. Mengapa bisa begitu? Karena apabila kita cari, dari seluruh metode saintifik di dunia, pasti ada yang namanya hipotesis. Di Indonesia malah ditiadakan karena takut dan khawatir terlalu tinggi, takut ditolah oleh para ahli dan masyarakat. Maka dalam kurtilas, hipotesis dihapus dan diganti dengan menanya sehingga tidak berarti. Padahal yang benar, menanya itu untuk membuat hipotesis. Kesempatan berpendapat terbuka luas. Itulah metode saintifik. Hanya sepertiga dari ilmu humaniora, sepertiga dari hermeneutika. Karena hermeunetika itu mengembang, linier dan siklik. Dalam titik ada tiga elemen: elemen menukik (mendalami, intensif,pakai metode saintifik), elemen mendatar itu membudayakan; senin bertemu senin, kamis bertemu kamis, dan elemen mengembang membangun dunia. Kalau matematika membangun konsep, membangun rumus. Apabila kita membangun dunia belum jelas seperti apa bangunannya, kita harus banyak baca, baca dan baca. Ikan ya ikan, tapi lebih baik membangun kesadaran untuk memilih jenis-jenis airnya, apalagi mencari air yang masih bersih yang tidak tercemar. Bukan hanya untuk ikan itu sendiri, tapi juga untuk keturanan, generasi berikutnya. Apabila kita paham dan sadar, mudah-mudahan keturunan kita akan menjadi paham dan sadar, termasuk lingkungan, murid-murid kita dan seterusnya.
Tidak jarang dalam berfilsafat, orang merasa bingung, atau bahkan merasa goyah akan pemikirannya sendiri. Karena itu, sebelum berfilsafat kita harus menetapkan hati sebagai komandan sebelum mengembarakan pikiran kita laksana layang-layang. Kacaunya pikiran kita merupakan awal dari sebuah ilmu, tapi jangan sampai kekacauan itu turun ke dalam hati karena kacaunya hati adalah awal tanda bersemayamnya setan dalam jiwa. Kita mungkin saja tidak tahu kalau setan mempunyai dimensi, maka setan dapat berevolusi dan berpikir secara efisien untuk bisa menggoyahkan iman sesuai kualifikasi yang kita punya. Siapa tahu?

Penutup
Semoga perkuliahan ini dapat memberi bekal kepada kami untuk dapat belajar berolah pikir memahami setiap fenomena yang ada dalam kehidupan. Merupakan sebuah manfaat apabila pemikiran para filsuf yang telah kami kenal sedikit demi sedikit melalui proses pembelajaran filsafat ilmu, dapat kami terapkan dalam konteksnya sesuai dengan ruang dan waktunya.

Jumat, 01 Januari 2016

Yang Ada dan Mungkin Ada: Musik



Menembus Ruang dan Waktu

Lampaunya Sekarang, Sekarangnya Tadi

Waktu itu terus berjalan tanpa henti. Didampingi oleh perpindahan ruang, waktu akan terus berjalan secara linear. Itulah mengapa waktu itu berdimensi. Dimensi tadi berbeda dengan dimensi sekarang. Dimensi sekarang ini akan berbeda pula dengan dimensi yang akan datang. Apa yang sudah ada akan bermetamorfosa menjadi yang mungkin ada. Itulah mengapa kita bisa menyebut: “Lampaunya Sekarang”, “Sekarangnya Tadi”, “Nantinya Sekarang”, ataupun “ Sekarangnya Nanti”.
Hal tersebut dapat saya uraikan dalam sebuah cerita.
Terkisah ada seorang nenek yang tinggal di dalam sebuah rimba. Tetapi rimba tersebut tidak terkesan gelap atau bahkan angker. Rimba tersebut terkenal sebagai sebuah tempat dimana rasa sejuk selalu tersedia, air mengalir tak kenal henti, kicau burung tak pernah putus bernyanyi, dan -satu hal yang terpenting- tawa riang anak-anak tak pernah berhenti berderai.
Ya! Sang nenek hidup bersama anak-anak yang sudah dia anggap sebagai cucunya sendiri. Anak-anak yang tidak pernah merasakan belas kasih orang tua mereka, tetapi selalu polos menghadapi pahit-getir kehidupannya. Anak-anak yang menimbulkan rasa prihatin di hati Sang nenek, ketika dia melintas di antara embun pagi dan rindang pepohonan tepi rimba. Sudah beberapa kali Sang nenek lewat selepas kegiatan setiap harinya mengumpulkan sayur dari kebun untuk dimasak.
Sudah ada 2  anak yang mengisi pondok mungilnya di dalam rimba. 1orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Semuanya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat dan aktif, termasuk pula aktif bertanya. Suatu ketika, Si Bungsu mendatangi Si Sulung dalam rutinitasnya mengumpulkan kayu bakar.
“Kakak, aku ingin bertanya.”
“Bicaralah, Adik..kakak akan mendengarkan.”
“Kakak,  aku ingin bertanya..”
“Bicaralah, Adik. Kakak akan mendengarkan.”
“Kakak, aku ingin bertanya..”
Perkataan adiknya yang terakhir membuat Si Sulung berhenti dari aktivitasnya sejenak, lalu menatap Si Bungsu.
“Adik, mengapa engkau bicara hal yang sama?” tanya Si Sulung. “Baiklah.. Kakak tidak hanya akan mendengarkan, tapi juga akan berusaha menjawab pertanyaanmu.”
Si Bungsu memperhatikan raut wajah Si Sulung yang kelelahan,tetapi tidak lepas dari senyuman. Balas tersenyum, Si Bungsu  kemudian menjawab: “Tak apalah, Kak. Aku sekarang tidak ingin bertanya.”
“Oi, apakah kau marah padak, Adik?” Si Sulung agak kebingungan demi mendengarkan pernyataan Si Bungsu.
“Tidak, Kakak. Pertanyaanku hanya berlaku untuk waktu lampau saja. Sekarang aku sudah tidak penasaran lagi. Tadi aku ingin tahu, apakah kakak akan marah jika aku terus-terusan bertanya. Tetapi sekarang aku sudah tahu jawabannya. Kakak tidak marah. Kakak tersenyum.”
*****
“Hidup memang sangat erat pertaliannya dengan waktu, Cucuku. Lima menit lalu tidak akan sama dengan saat ini. Waktu memiliki struktur sekarang, depan dan belakang, now, past and future. Oleh sebab itu, kalian harus bijak memanfaatkan waktu. Tidak akan kembali waktu lalu untuk dihadirkan saat ini. Pergerakan waktu itu mutlak, semutlak kehendak Penciptanya. Apa yang tadi Adikmu ingin tanyakan memang belum dia ketahui untuk saat itu. Tetapi setelah dia melihat wajahmu, sontak dia tahu jawabannya tanpa perlu kau menjelaskan. Rasa ingin tahu Adikmu itu berada pada masa lalu ketika dia belum mempunyai jawaban. Tetapi ketika kau tersenyum, itu saat ini bagi Adikmu. Dan ketika kau datang kepada Nenek, Cucuku, seluruh kejadian tadi sudah menjadi masa lalu bagi keadaan kita saat ini.”
“Kalau begitu Nek, saat dimana aku merasa bingung akan pertanyaan Si Bungsu, apakah dapat aku katakan sebagai sekarangnya tadi? ”

“Itulah pengalamanmu, Cucuku.”

Activity 6: Value of Music Education

Nilai Dalam Pendidikan Musik

Pendidikan Nilai Dalam Pendidikan Seni Musik: Intrinsik, Ekstrinsik dan Sistemik
JAKARTA - Kasus bullying atau penindasan yang paling banyak disoroti adalah bullying di sekolah. Bagaimana tidak, lingkungan sekolah yang seharusnya kondusif untuk belajar justru membuat para siswa menjadi terancam karena hal tersebut.
Parahnya, beberapa kasus bullying di sekolah saat ini sudah menjadi tradisi. Biasanya, bullying sendiri dilakukan oleh senior kepada junior atau bahkan dengan teman satu angkatan sendiri.
(http://news.okezone.com/read/2015/12/14/65/1267031/bullying-di-sekolah-ini-pemicunya)

JAKARTA - Tidak sedikit kasus bullying di sekolah menyebabkan korban, bahkan merenggut nyawa. Padahal seharusnya sekolah merupakan tempat aman untuk belajar dan berteman.
Berikut sejumlah kasus bullying di berbagai sekolah Tanah Air.
1. Bullying di SMAN 70 Jakarta
Pada Juli 2014, 13 siswa di SMAN 70 Jakarta dikeluarkan akibat melakukan pelanggaran yakni perbuatan bullying pada juniornya. Para senior telah mem-bully 15 siswa yang masih duduk di kelas satu.
2. Siswa SD aniaya teman hingga tewas
September 2015, seorang siswa di SDN 07 Pagi Kebayoran lama berusia delapan tahun melakukan tindak kekerasan kepada teman sebayanya. Akibat tindakan tersebut, korban harus menghembuskan nafas terakhirnya.
3.  Bullying oleh siswi berseragam pramuka
Belum lama ini, beredar video kekerasan yang dilakukan siswi berseragam pramuka kepada temannya. Pelaku dan korban diketahui bersekolah di SMPN 4 Binjai, Sumatera Utara. Dalam video berdurasi lima menit itu, pelaku tidak hanya memaki, tetapi juga menampar hingga menendang korbannya.
4. Siswa baru di-bully oleh 18 Senior
Saat masa orientasi sekolah (MOS), seorang siswa baru di SMA Seruni Don Bosco, Pondok Indah bernama Ary dianiaya oleh 18 seniornya. Terdapat luka sundutan setelah Ary melakukan visum. Selain itu, juga didapati luka memar di tubuh Ary. Selain Ary, tiga siswa lainnya juga menjadi korban bullying para senior.
(http://news.okezone.com/read/2015/12/15/65/1267586/daftar-kasus-bullying-yang-dilakukan-siswa)

“.....Semoga melalui pendidikan karakter ini akan terbangun fondasi yang kuat pada diri anak-anak bangsa, sehingga kasus-kasus bullying dan kekerasan lainnya tidak akan terjadi lagi di dunia pendidikan kita. Tidak perlu saling menyalahkan dan intinya semua pihak harus bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, bersahabat, dan menyenangkan bagi anak. Dengan pendidikan karakter yang kuat, semoga bangsa kita akan terhindar dari ‘malapetaka moral’- sebagaimana yang dilansir oleh sejarawan ternama Arnold Toynbee, ‘Dari dua puluh satu peradaban dunia yang dapat dicatat, sembilan belas hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena pembusukan moral dari dalam alias karena lemahnya karakter. Atau pendapat Thomas Lickona- ahli psikologi perkembangan dan pendidik dari Cortland University AS- yang mengungkapkan sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai, karena jika tanda-tanda ini terdapat dalam suatu bangsa, berarti bangsa tersebut sedang berada di tebing jurang kehancuran. Tanda-tanda tersebut di antaranya: Pertama, Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk. Ketiga, Pengaruh peergroup yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan perilaku seks bebas. Kelima, Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Keenam, Menurunnya etos kerja. Ketujuh, Semakin rendahnya rasa hormat pada orangtua dan guru.Kedelapan, Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara. Kesembilan, Membudayanya ketidakjujuran. Dan kesepuluh, Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.”
(http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter/)

TEMPO.CO, Depok - Seorang bocah perempuan berusia 7 tahun menjadi korban pelecehan seksual oleh tiga temannya. Korban yang baru masuk kelas I sekolah dasar itu dilecehkan oleh tiga teman mainnya di dekat Lapangan Golf Jagorawi Cimpaen, Tapos, Depok, Rabu, 1 Juli 2015.
 Aminah, tetangga korban, mengatakan korban diperkosa oleh temannya yang baru duduk di bangku kelas III dan V SD. Bahkan satu temannya lagi belum sekolah. "Korban diajak main dan dipaksa melakukan adegan dewasa itu," kata Aminah, Kamis, 30 Juli 2015.
(http://metro.tempo.co/read/news/2015/07/31/064687975/menyedihkan-anak-anak-menjadi-pelaku-pelecehan-seksual-di-depok)

Beberapa kasus di atas merupakan sebuah contoh degradasi perilaku anak yang sekarang sedang dalam tren pemberitaan. Bullying yang dapat disepadankan dengan sikap senioritas, sejak dahulu merupakan contoh kasus yang tidak ada habisnya-habisnya.  Pelecehan seksual bahkan sekarang menjadi sorotan utama media karena ternyata sudah melibatkan anak di bawah umur sebagai pelakunya. Ada banyak kasus-kasus lainnya yang walaupun tidak terlalu heboh tetapi dapat menjadi parameter kemerosotan nilai dan karakter anak.
Kemerosotan nilai yang dialami oleh anak-anak bisa jadi disebabkan oleh kurangnya inklusi nilai-nilai moral yang dilakukan baik oleh orang tua, maupun pendidikan di sekolah. Banyak orang tua berpendapat bahwa sudah merupakan tugas sekolah untuk mendidik anak-anak mereka tentang nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Padahal, belum tentu sekolah mempunyai porsi waktu lebih banyak dibandingkan dengan waktu siswa ketika di rumah.
Untuk menjawab masalah tersebut, maka guru perlu memperkenalkan sebuah pendidikan berbasis nilai yang ada di dalam masyarakat, atau dapat kita sebut sebagai pendidikan karakter.  Lickona dalam Haryanto (2012) menyebutkan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Dalam pendidikan karakter, guru berperan sebagai mediator untuk menciptakan suasana pembelajaran berbasis nilai sebagai inti dari kegiatan guru-siswa. Guru tidak hanya berperan sebagai fasilitator materi pembelajaran, tapi juga sebagai teladan yang secara langsung menerapkan nilai-nilai dalam perilakunya sehingga siswa mendapatkan contoh yang tepat. Guru juga perlu memberikan banyak contoh kasus tentang nilai-nilai yang seharusnya berlaku dalam sistem masyarakat.

Menurut Dinas Pendidikan Nasional, beberapa nilai yang harus disisipkan dalam pembelajaran (Aar; 2011) adalah:
1.      Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.      Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3.      Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.      Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5.      Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
6.      Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7.      Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.      Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9.      Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10.  Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11.  Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12.  Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.  Bersahabat/Komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
14.  Cinta Damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
15.  Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.  Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.  Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.  Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.


Kluckhohn (Brameld, 1957) mendefinisikan nilai sebagai konsepsi (tersirat atau tersurat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan. Menurut Brameld, pandangan Kulchohn tersebut memiliki banyak implikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya dan sesuatu itu dipandang bernilai apabila dipersepsi sebagai sesuatu yang diinginkan. Makanan, uang, rumah, memiliki nilai karena memiliki persepsi sebagai sesuatu yang baik dan keinginan untuk memperolehnya memiliki mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang. Namun tidak hanya materi yang memiliki nilai, gagasan dan konsep juga dapat menjadi nilai, seperti: kejujuran, kebenaran dan keadilan. Kejujuran misalnya, akan menjadi sebuah nilai bagi seseorang apabila ia memiliki komitmen yang dalam terhadap nilai itu yang tercermin dalam pola pikir, tingkah laku dan sikap.

Dalam tugas ini, saya hanya akan menyebutkan nilai dalam pengertian intrinsik dan ekstrinsik. Nilai  intrinsik, dapat berarti bernilai dalam dirinya sendiri, sedangkan ekstrinsik atau disebut instrumental, dapat berarti bernilai sejauh dikaitkan dengan cara mencapai tujuan.  Menurut pendapat Loiuis O Kattsoff, nilai intrinsik merupakan nilai dari segala sesuatu yang sejak semula sudah bernilai. Nilai ekstrinsik merupakan nilai sesuatu karena dapat dipakai sebagai sarana untuk mencapai sesuatu. Menurut Darmodiharjo dalam Mahifal (2008), nilai intrinsik adalah nilai yang berdiri sendiri yang mengandung kualitas tertentu, misalnya suatu tindakan dikatakan sebagai tindakan yang bersifat susila, semata-mata adalah karena tindakan tersebut memang baik. Sedangkan nilai ekstriksik adalah nilai yang bergantung pada nilai intrinsik dari akibat-akibatnya.

Seni adalah sebuah disiplin ilmu yang unik karena dapat menyentuh ranah kognitif, afektif sekaligus psikomotor dalam diri peserta didik, dan hal ini tidak dapat kita temui dalam disiplin ilmu-ilmu lain yang diajarkan (Hidayatullah, 2015). Seni musik dapat memegang peranan besar dalam pendidikan untuk menginklusikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Selain estetika, pendidikan seni musik dapat mengarahkan anak pada keterampilan bersosial maupun pembentukan nalar dan konsep. Beberapa karakter nilai yang dapat ditemukan dan dibangun dalam pembelajaran musik antara lain: kooperatif, saling menghargai, saling mendengarkan, disiplin, bertanggungjawab, tepat waktu, saling membantu, dan karakter lainnya yang sudah saya sebutkan di atas berdasarkan cita-cita Diknas. Karakter-karakter tersebut dapat muncul ketika siswa berproses untuk menyelesaikan proyek bermain musik bersama-sama yang juga menjadi salah satu kajian kurikulumnya.

Pembelajaran musik, baik itu dalam konteksnya sebagai nilai intrinsik maupun ekstrinsik harus saling membangun secara sistemik sehingga tercipta iklim pembelajaran yang kondusif. Nilai intrinsik pembelajaran seni sebagai sarana siswa untuk belajar maupun estetika yang sekaligus terkandung di dalamnya dapat dikolaborasikan dengan nilai ekstrinsiknya yaitu karakter-karakter berbudi luhur yang merupakan nilai yang dianut oleh masyarakat. Dengan begitu, diharapkan pembelajaran musik dapat menjadi sarana bagi sistem pendidikan untuk turut ambil bagian dalam perbaikan karakter siswa menjadi lebih baik sehingga berbagai kasus kekerasan dalam dunia anak dapat ditekan.

Referensi:

https://bisikankalbu.files.wordpress.com/2008/11/3-pancasila-sebagai-falsafah-hidup-bangsa-indonesia.pdf