Membangun Hidup
Ikan Ingin Menjadi
Bima
Pertemuan ke-8
kuliah Filsafat Ilmu ini
dilaksanakan pada
tanggal 5 November 2015 pukul 07.30 sampai dengan 09.10 diruang 306A gedung
lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan kelas B dengan dosen pengampu Pak Marsigit.
Berbeda dengan pertemuan sebelumnya ketika Bapak memberikan
50 nomor kuis, pada pertemuan ini, Pak Marsigit menerangkan tentang struktur
filsafat. Sambil menunggu papan tulis, Bapak berbincang-bincang sedikit tentang
banyak hal, mulai dari facebook, hasil refleksi mahasiswa, plagiarisme, metode
meluk gunung –yaitu metode mencari ilmu dari berbagai arah- dikaitkan dengan elegi Pak Marsigit.
Bagaimana berfilsafat bukan sekedar bersyukur, tapi juga berefleksi.
Objek filsafat itu ada dua, yakni yang ada dan yang mungkin
ada. Punya sifat bermilyar pangkat semilyar pun belum selesai aku
menyebutkannya, karena sifat itu berstruktur, berdimensi. Maka manusia sifatnya
terbatas, tidak sempurna. Tidak mampu memikirkan semua sifat, tapi sebagian.
Oleh karena itu manusia melakukan reduksi yang bertujuan untuk membangun dunia
pengetahuan. Yang direduksi dari sifat filsafat yaitu, tetap dan berubah. Kalau
hanya berubah hanya separuh dunia. Separuh lagi bersifat tetaap. Buktinya sejak
lahir, sekarang, dulu sampai mati pun aku tetap ciptaan. Jika hanya tesis saja,
tidak akan harmonis dan sehat. Harus ada interaksi antara yang tetap dan yang
berubah. Itulah sebenar-benar hidup.
Yang tetap itu tokohnya Permenides, yang berubah Heraklitos.
Yang itu bersifat ideal, tokohnya Plato. Sedangkan yang berubah bersifat realis, tokohnya
Aristoteles. Tetap dan ideal itu salah satu sifat daripada pikiran. Berubah atau
realis adalah salah satu sifat dari pengalaman atau berada di luar pikiran. Pikiran
menghasilkan aksioma, sedangkan realis menghasilkan kenyataan. Benarnya kenyataan,
tetap, aksioma, pikiran, ideal itu adalah konsisten. Benarnya realis, berubah, pengalaman
itu adalah korespondensi atau kecocokan.
Idealisme kalau diteruskan ke atas menjadi transenden, masuk
aliran filsafat idealisme dengan tokoh Plato. Dunia bawah masuk aliran filsafat
realisme dengan tokoh Aristoteles. Korespondensi, konsisten atau koheren itu
sifat matematika untuk orang dewasa atau matematika murni. Di dunia bawah
adalah matematika untuk anak-anak atau matematika sekolah. Sebagai contoh: seni
adalah ilmu bagi orang dewasa, tapi bagi anak-anak seni adalah aktivitas. Beri kepada
anak kegiatan yang menarik dan menyenangkan sebagai pengalaman.
Dari transendentalisme, apabila dinaikkan menjadi spiritual.
Ke atas menjadi kebenaran tunggal, dan ke bawah kebenaran plural. Tunggal itu
mono, sehingga muncul aliran monoisme, sedangkan plural masuk ke dalam aliran
pluralisme. Manusia di dunia bersifat plural. Dalam dunia atas, atau idealis transendental, berlaku
prinsip identitas, yaitu A=A. Hal tersebut hanya benar ketika berada dalam
pikiran. Dalam dunia bawah, berlaku prinsip kontradiksi atau A≠A.
Ada A yang pertama, ada A yang kedua.Dunia bawah terikat ruang dan waktu, dunia
atas terbebas ruang dan waktu.
Kemudian dari dunia atas dikembangkan logika sehingga
lahirlah logisme, tokohnya adalah Russel, ilmunya bersifat Formal sehingga
lahirlah Formalisme tokohnya Hilbert. Kemudian dari dunia atas lahirlah rasionalisme
tokohnya dan dari pengalaman lahirlah
empirisme Herbert Album, tokohnya bla. Kira-kira menuju tahun 1671.
Dari transenden, kebenarannya bersifat absolut sehingga
lahirlah absolutisme. Di dunia bawah bersifat relatif sehingga lahirlah
relativisme. Begitulah, filsafat itu tergantung obyeknya. Dan semuanya itu
terjadi dalam diri kita masing-masing secara mikro. Makronya adalah ketika kita
membaca buku Rene Descartes. Jadi hidup itu adalah interaksi antara makro dan
mikro.
Yang namanya logika itu bersifat konsisten, dalam filsafat
disebut analitik. Analitik itu yang penting konsisten dari yang satu terhadap
yang lain. Berarti secara hukumnya atau konseptual mempunyai aksioma/postulat. Yang
memiliki postulat adalah subyeknya atau dewanya. Yang di bawah bersifat
sintetik. Hukumnya sebab-akibat, hubungan antar benda. Logika itu bersifat
apriori sedangkan pengalaman bersifat aposteriori, contohnya dokter hewan yang
ingin mengobati sapi. Aposteriori itu paham setelah melihat bendanya. Apriori
dicontohkan oleh dokter yang mengobati via telepon, menggunakan logika, konsisten
teori satu dengan yang lain tanpa melihat langsung.
Pada sekitar tahun 1671, semua paham tersebut didamaikan
oleh Imannuel Kant. Antara satu dengan lainnya tidak bisa saling mengabaikan. Unsur
pikiran adalah analitik apriori, unsur daripada pengalaman adalah sintetik
aposteriori. Dari pikiran diambil apriori, dari pengalaman diambil sintetiknya
sehingga seimbang menjadi sintetik apriori. Itulah sebenar-benar ilmu.
Dewa tahu banyak tentang anak, tetapi anak tahu sedikit
tentang dewa. Jadi, ketika dewa ingin mendidik anak, harus melepaskan dulu
ke-dewa-annya supaya tidak menakut-nakuti anak. Maka dari itu, dewa kalau turun
ke bumi menjelma menjadi manusia biasa. Itulah gambaran seorang guru yang harus
berperan dengan baik sesuai dengan dunia anak-anak. Berikan anak sebuah contoh
untuk menggambarkan definisi. Dari dunia atas lahirlah ilmu-ilmu murni. Dari dunia
bawah lahirlah sosial, ilmu budaya, humaniora.
Sampai disitu, bertemulah bendungan Compte. Segala macam
persoalan mulai di situ. Compte berpendapat bahwa agama tidak bisa dipakai
untuk membangun dunia karena tidak logis, irasional. Apabila ingin membangun
dunia, kita harus memakai metode positivisme atau dikenal dengan metode saintifik.
Saintifik itu asal mula dari positivisme.
Didukung oleh ilmu dasar sehingga menghasilkan teknologi. Ini
menjadi paradigma alternatif, termasuk Indonesia. Indonesia dicerminkan oleh
struktur material, formal, normatif dan spiritual. Itu merupakan cita-cita dari
filsafat Pancasila atau monodualis. Aku dengan Tuhan serta aku dan
masyarakatku. Namun melintaslah positivisme yang tidak kita sadari. August
Compte dengan positivisme itu telah menjelma menjadi powernow. Mulai dari
bangunan archaic, tribal, tradisional, feodal, modern, postmodern, dst atau
kita bahasakan sebagai power now. Indonesia tidak mempunyai gambaran dalam
struktur powernow, kecuali mendapat limbah dari powernow. Semua struktur itu
berpilarkan kapitalisme, pragmatisme, utilitarianisme, hedonisme, materialisme,
liberalisme, saintisisme kemudian saintifik. Jadi metode saintifik itu adalah
lambang ketidakberdayaan Indonesia bergaul dengan powernow. Contohnya adalah
orang yang melupakan realitas hidup gara-gara HP baru. Bukan di Perancis, tapi
di sini. Apabila sampai lupa beribadah, maka spiritualisme sudah dimarjinalkan,
sudah termakan produk hedonisme itu.
Apabila diandaikan, kita adalah ikan yang tinggal dalam
polusi kontemporer. Kita bukan sembarang ikan. Maka dikisahkan cerita Dewa
Ruci. Sang Bima mencari ilmu di dasar laut, banyu panguripan, air yang belum
tercemar. Padalah tidak sembarang ikan bisa turun ke dasar sana. Harus pakai
ilmu dan pengetahuan. Seperti diri kita, tergelepar seperti ikan. Seperti Bima,
kita harus paham dan melampaui kontradiksi. Hidup ini adalah kontradiksi. Contohnya
adalah orang yang masuk ke air, keluar sudah telentang. Berarti dia tidak
menggunakan teknologi. Filsafat mencoba membuat teknologi supaya ketika masuk
ke dalam air, bisa selamat dan survive. Jadi berfilsafat itu mencari alat. Sehingga
kita bisa memilih dan memilah, tidak hanya sekedar limbah kapital atau hedonis
dst saja. Contohnya kesibukan kita menghalangi kewajiban sebagai anggota
masyarakat atau keluarga. Maka kita harus seimbang interaksi antara makro dan
mikro.
Semoga perkuliahan ini dapat memberi bekal kepada kami untuk
membaca elegi lain yang bersifat ideologi, politik dan lain-lain. Setiap hari
Indonesia digempur oleh Power Now sehingga tidak mempunyai jati diri. Dipengaruhi
juga oleh pemimpin sejak dari jaman dulu yang banyak tergoda. Indonesia bergaul
dengan mereka tidaklah murah. Bahasanya hanya satu, yaitu investasi. Tapi hal
tersebut belum tentu bisa menghibur. Indonesia belum bisa menjawab tantangan
karena Indonesia belum berkarakter,masih menjadi objek dari subjeknya, sehingga
begini salah, begitu salah, apalagi begini. Orang jawa punya solusi ngono yo
ngono ning ojo ngono. Tapi itu merupakan solusi orang lemah. Kita bergaul
dengan mereka harus penuh dengan sesaji. Itulah kita itu bangsa yang lemah
sehingga pakarnya menjadi lemah, pemikirnya menjadi lemah, saintifiknya tidak
berkarakter. Mengapa bisa begitu? Karena apabila kita cari, dari seluruh metode
saintifik di dunia, pasti ada yang namanya hipotesis. Di Indonesia malah
ditiadakan karena takut dan khawatir terlalu tinggi, takut ditolah oleh para
ahli dan masyarakat. Maka dalam kurtilas, hipotesis dihapus dan diganti dengan
menanya sehingga tidak berarti. Padahal yang benar, menanya itu untuk membuat
hipotesis. Kesempatan berpendapat terbuka luas. Itulah metode saintifik. Hanya sepertiga
dari ilmu humaniora, sepertiga dari hermeneutika. Karena hermeunetika itu
mengembang, linier dan siklik. Dalam titik ada tiga elemen: elemen menukik
(mendalami, intensif,pakai metode saintifik), elemen mendatar itu membudayakan;
senin bertemu senin, kamis bertemu kamis, dan elemen mengembang membangun
dunia. Kalau matematika membangun konsep, membangun rumus. Apabila kita
membangun dunia belum jelas seperti apa bangunannya, kita harus banyak baca,
baca dan baca. Ikan ya ikan, tapi lebih baik membangun kesadaran untuk memilih
jenis-jenis airnya, apalagi mencari air yang masih bersih yang tidak tercemar. Bukan
hanya untuk ikan itu sendiri, tapi juga untuk keturanan, generasi berikutnya. Apabila
kita paham dan sadar, mudah-mudahan keturunan kita akan menjadi paham dan
sadar, termasuk lingkungan, murid-murid kita dan seterusnya. Amin.