Rabu, 11 November 2015

Membangun Hidup: Ikan Ingin Menjadi Bima

Membangun Hidup
Ikan Ingin Menjadi Bima

Pertemuan ke-8 kuliah Filsafat Ilmu ini dilaksanakan pada tanggal 5 November 2015 pukul 07.30 sampai dengan 09.10 diruang 306A gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan kelas B dengan dosen pengampu Pak Marsigit.

Berbeda dengan pertemuan sebelumnya ketika Bapak memberikan 50 nomor kuis, pada pertemuan ini, Pak Marsigit menerangkan tentang struktur filsafat. Sambil menunggu papan tulis, Bapak berbincang-bincang sedikit tentang banyak hal, mulai dari facebook, hasil refleksi mahasiswa, plagiarisme, metode meluk gunung –yaitu metode mencari ilmu dari berbagai arah-  dikaitkan dengan elegi Pak Marsigit. Bagaimana berfilsafat bukan sekedar bersyukur, tapi juga berefleksi. 

Objek filsafat itu ada dua, yakni yang ada dan yang mungkin ada. Punya sifat bermilyar pangkat semilyar pun belum selesai aku menyebutkannya, karena sifat itu berstruktur, berdimensi. Maka manusia sifatnya terbatas, tidak sempurna. Tidak mampu memikirkan semua sifat, tapi sebagian. Oleh karena itu manusia melakukan reduksi yang bertujuan untuk membangun dunia pengetahuan. Yang direduksi dari sifat filsafat yaitu, tetap dan berubah. Kalau hanya berubah hanya separuh dunia. Separuh lagi bersifat tetaap. Buktinya sejak lahir, sekarang, dulu sampai mati pun aku tetap ciptaan. Jika hanya tesis saja, tidak akan harmonis dan sehat. Harus ada interaksi antara yang tetap dan yang berubah. Itulah sebenar-benar hidup.

Yang tetap itu tokohnya Permenides, yang berubah Heraklitos. Yang itu bersifat ideal, tokohnya Plato. Sedangkan  yang berubah bersifat realis, tokohnya Aristoteles. Tetap dan ideal itu salah satu sifat daripada pikiran. Berubah atau realis adalah salah satu sifat dari pengalaman atau berada di luar pikiran. Pikiran menghasilkan aksioma, sedangkan realis menghasilkan kenyataan. Benarnya kenyataan, tetap, aksioma, pikiran, ideal itu adalah konsisten. Benarnya realis, berubah, pengalaman itu adalah korespondensi atau kecocokan.

Idealisme kalau diteruskan ke atas menjadi transenden, masuk aliran filsafat idealisme dengan tokoh Plato. Dunia bawah masuk aliran filsafat realisme dengan tokoh Aristoteles. Korespondensi, konsisten atau koheren itu sifat matematika untuk orang dewasa atau matematika murni. Di dunia bawah adalah matematika untuk anak-anak atau matematika sekolah. Sebagai contoh: seni adalah ilmu bagi orang dewasa, tapi bagi anak-anak seni adalah aktivitas. Beri kepada anak kegiatan yang menarik dan menyenangkan sebagai pengalaman.

Dari transendentalisme, apabila dinaikkan menjadi spiritual. Ke atas menjadi kebenaran tunggal, dan ke bawah kebenaran plural. Tunggal itu mono, sehingga muncul aliran monoisme, sedangkan plural masuk ke dalam aliran pluralisme. Manusia di dunia bersifat plural. Dalam dunia atas, atau idealis transendental, berlaku prinsip identitas, yaitu A=A. Hal tersebut hanya benar ketika berada dalam pikiran. Dalam dunia bawah, berlaku prinsip kontradiksi atau AA. Ada A yang pertama, ada A yang kedua.Dunia bawah terikat ruang dan waktu, dunia atas terbebas ruang dan waktu.

Kemudian dari dunia atas dikembangkan logika sehingga lahirlah logisme, tokohnya adalah Russel, ilmunya bersifat Formal sehingga lahirlah Formalisme tokohnya Hilbert. Kemudian dari dunia atas lahirlah rasionalisme tokohnya  dan dari pengalaman lahirlah empirisme Herbert Album, tokohnya bla. Kira-kira menuju tahun 1671.

Dari transenden, kebenarannya bersifat absolut sehingga lahirlah absolutisme. Di dunia bawah bersifat relatif sehingga lahirlah relativisme. Begitulah, filsafat itu tergantung obyeknya. Dan semuanya itu terjadi dalam diri kita masing-masing secara mikro. Makronya adalah ketika kita membaca buku Rene Descartes. Jadi hidup itu adalah interaksi antara makro dan mikro.

Yang namanya logika itu bersifat konsisten, dalam filsafat disebut analitik. Analitik itu yang penting konsisten dari yang satu terhadap yang lain. Berarti secara hukumnya atau konseptual mempunyai aksioma/postulat. Yang memiliki postulat adalah subyeknya atau dewanya. Yang di bawah bersifat sintetik. Hukumnya sebab-akibat, hubungan antar benda. Logika itu bersifat apriori sedangkan pengalaman bersifat aposteriori, contohnya dokter hewan yang ingin mengobati sapi. Aposteriori itu paham setelah melihat bendanya. Apriori dicontohkan oleh dokter yang mengobati via telepon, menggunakan logika, konsisten teori satu dengan yang lain tanpa melihat langsung.

Pada sekitar tahun 1671, semua paham tersebut didamaikan oleh Imannuel Kant. Antara satu dengan lainnya tidak bisa saling mengabaikan. Unsur pikiran adalah analitik apriori, unsur daripada pengalaman adalah sintetik aposteriori. Dari pikiran diambil apriori, dari pengalaman diambil sintetiknya sehingga seimbang menjadi sintetik apriori. Itulah sebenar-benar ilmu.

Dewa tahu banyak tentang anak, tetapi anak tahu sedikit tentang dewa. Jadi, ketika dewa ingin mendidik anak, harus melepaskan dulu ke-dewa-annya supaya tidak menakut-nakuti anak. Maka dari itu, dewa kalau turun ke bumi menjelma menjadi manusia biasa. Itulah gambaran seorang guru yang harus berperan dengan baik sesuai dengan dunia anak-anak. Berikan anak sebuah contoh untuk menggambarkan definisi. Dari dunia atas lahirlah ilmu-ilmu murni. Dari dunia bawah lahirlah sosial, ilmu budaya, humaniora.

Sampai disitu, bertemulah bendungan Compte. Segala macam persoalan mulai di situ. Compte berpendapat bahwa agama tidak bisa dipakai untuk membangun dunia karena tidak logis, irasional. Apabila ingin membangun dunia, kita harus memakai metode positivisme atau dikenal dengan metode saintifik. Saintifik itu asal mula dari positivisme.

Didukung oleh ilmu dasar sehingga menghasilkan teknologi. Ini menjadi paradigma alternatif, termasuk Indonesia. Indonesia dicerminkan oleh struktur material, formal, normatif dan spiritual. Itu merupakan cita-cita dari filsafat Pancasila atau monodualis. Aku dengan Tuhan serta aku dan masyarakatku. Namun melintaslah positivisme yang tidak kita sadari. August Compte dengan positivisme itu telah menjelma menjadi powernow. Mulai dari bangunan archaic, tribal, tradisional, feodal, modern, postmodern, dst atau kita bahasakan sebagai power now. Indonesia tidak mempunyai gambaran dalam struktur powernow, kecuali mendapat limbah dari powernow. Semua struktur itu berpilarkan kapitalisme, pragmatisme, utilitarianisme, hedonisme, materialisme, liberalisme, saintisisme kemudian saintifik. Jadi metode saintifik itu adalah lambang ketidakberdayaan Indonesia bergaul dengan powernow. Contohnya adalah orang yang melupakan realitas hidup gara-gara HP baru. Bukan di Perancis, tapi di sini. Apabila sampai lupa beribadah, maka spiritualisme sudah dimarjinalkan, sudah termakan produk hedonisme itu.

Apabila diandaikan, kita adalah ikan yang tinggal dalam polusi kontemporer. Kita bukan sembarang ikan. Maka dikisahkan cerita Dewa Ruci. Sang Bima mencari ilmu di dasar laut, banyu panguripan, air yang belum tercemar. Padalah tidak sembarang ikan bisa turun ke dasar sana. Harus pakai ilmu dan pengetahuan. Seperti diri kita, tergelepar seperti ikan. Seperti Bima, kita harus paham dan melampaui kontradiksi. Hidup ini adalah kontradiksi. Contohnya adalah orang yang masuk ke air, keluar sudah telentang. Berarti dia tidak menggunakan teknologi. Filsafat mencoba membuat teknologi supaya ketika masuk ke dalam air, bisa selamat dan survive. Jadi berfilsafat itu mencari alat. Sehingga kita bisa memilih dan memilah, tidak hanya sekedar limbah kapital atau hedonis dst saja. Contohnya kesibukan kita menghalangi kewajiban sebagai anggota masyarakat atau keluarga. Maka kita harus seimbang interaksi antara makro dan mikro.

Semoga perkuliahan ini dapat memberi bekal kepada kami untuk membaca elegi lain yang bersifat ideologi, politik dan lain-lain. Setiap hari Indonesia digempur oleh Power Now sehingga tidak mempunyai jati diri. Dipengaruhi juga oleh pemimpin sejak dari jaman dulu yang banyak tergoda. Indonesia bergaul dengan mereka tidaklah murah. Bahasanya hanya satu, yaitu investasi. Tapi hal tersebut belum tentu bisa menghibur. Indonesia belum bisa menjawab tantangan karena Indonesia belum berkarakter,masih menjadi objek dari subjeknya, sehingga begini salah, begitu salah, apalagi begini. Orang jawa punya solusi ngono yo ngono ning ojo ngono. Tapi itu merupakan solusi orang lemah. Kita bergaul dengan mereka harus penuh dengan sesaji. Itulah kita itu bangsa yang lemah sehingga pakarnya menjadi lemah, pemikirnya menjadi lemah, saintifiknya tidak berkarakter. Mengapa bisa begitu? Karena apabila kita cari, dari seluruh metode saintifik di dunia, pasti ada yang namanya hipotesis. Di Indonesia malah ditiadakan karena takut dan khawatir terlalu tinggi, takut ditolah oleh para ahli dan masyarakat. Maka dalam kurtilas, hipotesis dihapus dan diganti dengan menanya sehingga tidak berarti. Padahal yang benar, menanya itu untuk membuat hipotesis. Kesempatan berpendapat terbuka luas. Itulah metode saintifik. Hanya sepertiga dari ilmu humaniora, sepertiga dari hermeneutika. Karena hermeunetika itu mengembang, linier dan siklik. Dalam titik ada tiga elemen: elemen menukik (mendalami, intensif,pakai metode saintifik), elemen mendatar itu membudayakan; senin bertemu senin, kamis bertemu kamis, dan elemen mengembang membangun dunia. Kalau matematika membangun konsep, membangun rumus. Apabila kita membangun dunia belum jelas seperti apa bangunannya, kita harus banyak baca, baca dan baca. Ikan ya ikan, tapi lebih baik membangun kesadaran untuk memilih jenis-jenis airnya, apalagi mencari air yang masih bersih yang tidak tercemar. Bukan hanya untuk ikan itu sendiri, tapi juga untuk keturanan, generasi berikutnya. Apabila kita paham dan sadar, mudah-mudahan keturunan kita akan menjadi paham dan sadar, termasuk lingkungan, murid-murid kita dan seterusnya. Amin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar