Rabu, 11 November 2015

Episode Lanjutan Menembus Ruang dan Waktu: Arjuna Mencari Wahyu, Aku Mencari Filsafatku


Episode Lanjutan Menembus Ruang dan Waktu
Arjuna Mencari Wahyu, Aku Mencari Filsafatku

Pertemuan kuliah Filsafat Ilmu ini dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2015 jam 07.30 sampai dengan 09.10 diruang 306A gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan kelas B dengan dosen pengampu Pak Marsigit, Perkuliahan ini diawali dengan tes jawab cepat sebanyak 50 soal lalu dilanjutkan dengan mahasiswa mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh Pak Marsigit.

Pertanyaan pertama dari Rizqy Umami “Bagaimana cara kita untuk benar-benar bisa memahami kajian filsafat?”
Seorang filsuf ternama pun ketika menjawab pertanyaan saya dimungkinkan nilainya nol. Karena filsafat itu adalah dirimu sendiri. Maka metode berfilsafat adalah metode hidup terjemah dan menterjemahkan. Terjemahkanlah diriku bukan asesorisnya, tapi pikirannya, dengan cara baca baca dan baca. Kemudian aku menterjemahkan dirimu melalui pertanyaan. Tetapi jadi orang itu jangan pernah berhenti berikhtiar, jangan patah semangat, diteruskan saja. Nah pertanyaan ini fungsinya tidak semata-mata untuk mengetahui pikiran anda, tapi juga sebagai sarana untuk mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada dari dirimu masing-masing. Setidaknya sudah ada kesadaran menembus ruang dan waktu. Jangankan manusia, hewan dan batu pun menembus ruang dan waktu. Tidak ada batu yang protes ketika kehujanan, kalaupun protes, dia menembus ruang dan waktu dengan ilmu dan metodologi tertentu. Tapi dengan berdiam pun, dari kehujanan menjadi tidak kehujanan, dia sudah menembus ruang. Semua benda bisa aku sebut di depannya adalah waktu. Apa ada silahkan sebut sifat satu saja dari bermilyar pangkat sifat yang tidak dikaitkan dengan waktu. Bahkan yang notabene terbebas dari ruang dan waktu yang ada dalam pikiran anda. Contoh saja 2+2 = 4. Karena itu terbebas oleh ruang dan waktu. Tapi aku masih bisa mengatakan bawa hari ini 2+2=4, atau besok, 2+2=4. Itu identitas. Karena terbebas oleh ruang dan waktu. Tetapi apabila sudah terikat oleh ruang dan waktu, serta merta kontradiktif. Ada sifat-sifatnya, dan sifat itu bersifat subordinat, menjadi predikat daripada obyeknya.

Fajar Nur Cahyani “Bagaimana filsafat memandang pendidikan di Indonesia dan bagaimana peran filsafat bagi meningkatkan mutu pendidik di Indonesia?”
Itu tema besar, dan bisa dibaca di blog saya. Tapi esensinya, ketika mengetahui praksis pendidikan, ada baiknya juga mengetahui latr belakang pendidikan dan landasan pendidikan. Landasan, latar belakang dan masa depan pendidikan, itu wadahnya tidak lain tidak bukan adalah filsafat pendidikan. Untuk mengetahui filsafat pendidikan, belajarlah filsafat. Semuanya terangkum di situ, termasuk di dalamnya unsur-unsurnya, pilar-pilarnya. Politik pendidikan dan ideologi pendidikan dan pendidikan kontekstual. Ga usah jauh-jauh ke Amerika, di Indonesia pun ada politik pendidikan, politik pemerintah dan sebagainya.

Ndaru Asmara “Apakah dengan berfilsafat kita bisa berkomunikasi dengan makhluk lain, seperti hewan dan tumbuhan?”
Filsafat itu wacana, bahasa, penjelasan, maka ada jarak antara penjelasan dengan praksisnya. Bagi seorang filsuf, ia ingin menjelaskan bagaimana orang itu kesurupan. Tapi filsuf sendiri tidak bisa kesurupan. Sedangkan yang kesurupan tidak menyadarinya. Jangan kemudian filsufnya ikut-ikut kesurupan, nanti siapa yang mau menjelaskan. Karena filsafat itu olah pikir. Nah dari semua pikiran yang ada itu dipakai untuk menjelaskan fenomena, termasuk fenomena gaib. Secara filsafat, naik spiritual turun psikologi. Filsafat itu lengkap. Jangan dikira, ada psikologinya. Ilham spiritual itu petunjuk dari Tuhan. Apabila orang dapat pencerahan, ga ngerti sebabnya. Secara filsafat itu gitu aja. Itu namanya ilham. Dan ternyata apabila diteliti, setiap yang ada dan yang mungkin ada setiap waktu, aku selalu mendapatkan ilham. Aku bisa menjawab pertanyaanmu karena aku mendapatkan ilham. Jangan kemudian memitoskan ilham. Kamu bisa menjelaskan tidak, bagaimana proses kamu bisa menjelaskan tadi di dalam pikiranmu. Seberapa jauh kamu bisa, dan tidak akan bisa sempurna, ya pada akhirnya ilham juga. Wahyu juga ilmu, hanya orang dulu, dipersonifikasikan wayu itu sebagai benda hidup. Karena apa? Karena audiensnya tradisional. Maka ketika sang Arjuna mencari wahyu, pergi ke hutan, cari yang sepi. Kalau jaman sekarang itu, sama seperti kamu masuk ke kamar baca eleginya Pak Marsigit. Itu sama seperti Arjuna masuk ke dalam hutan. Menyepi, merenung, memahami, disitulah aku dapat wahyu dan pengetahuan, dari yang ada menjadi ada. Persis sama dengan Arjuna itu.” Kemudian Pak Marsigit memberi contoh melalui sebuah cerita tentang Arjuna dan wahyunya.
“Wahai Arjuna.”
“Ada apa wahyu..?”
“Aku melihat situasi dan kondisinya, engkau itu berchemistry dengan saya.”
“Alhamdulillah, Amin.”
“Kalau begitu bolehlah aku menyatu dengan dirimu”
“Jikalau engkau berkehendak begitu, silakan.”
“Oleh karena itu, supaya aku selamanya bisa menjadi satu dengan dirimu, ikutilah perintahku.”
“Boleh.”
“Bukalah mulutmu, pejamkan mata. Setelah itu kembali normal. Maka sekejap itu juga, aku akan jadi satu dengan dirimu.”

Apa yang akan menjadi satu dengan dirimu? Spiritualnya formal adalah spiritual, spiritualnya material adalah spiritual. Itu sudah menjadi satu dengan dirimu. Jadi ada banyak sekali wahyu yang tidak engkau sadari. Berfilsafat itu adalah menyadari, bahwa aku belum tahu, menyadari, mengetahui ketidaktahuanku. Menyadari kapan aku mulai mengetahui, menyadari batas antara tahu dan tidak tahu. Maka benda-benda gaib itu jika diterangkan secara filsafat, naik spiritual, filsafat transenden, turun menjadi psikologi. Transendennya filsafat itu noumena. Noumena itu diluar fenomena. Semua yang diraba, semua yang dipikir, semua yang dilihat itu fenomena. Maka roh dan arwah dianggap noumena. Seberapakah orang itu tahu, bisa memakai segala macam metode. Bisa pakai logika, pengalaman, teori, ke spiritual. Berbagai macam cara untuk berusaha mengetahui apa yang disebut dengan arwah. Maka ada batasannya, batas-batas tertentu. Maka bagi pikiran saya, yang namanya setan itu potensi negatif. Malaikat potensi positif. Di dalam dirimu ada potensi negatif, ada potensi positif. Neraka itu potensi negatif. Surga potensi positif. Oleh karena itu raihlah surga ketika engkau ada di dunia, tapi bukan surga dunia. Maka orang yang masuk surga secara psikologi, secara hukum itu kelihatan. Para koruptor jelas akan masuk neraka secara hukum, secara spiritual lain lagi. Itulah pikiran kita berdimensi, yang dilihatpun berdimensi. Itulah mengapa bagi anak kecil, pohon itu ada hantunya. Padahal kata kakak saya, “Itu mah supaya anak kecil takut, jangan merusak tanaman”. Itulah bedanya. Oleh karena itu, apabila ada yang bisa berbicara dengan kucing: “Meong...meong...” atau dengan burung: “hey..hey... krrrr...”. Apa definisi bicara? Dengan burung memakan padi, aku sudah mengerti bahasanya. Komunikasi dengan tumbuhan? “Kamu sudah mulai layu.. aku siram..”. Daun yang kuning itu, apabila oleh tumbuhan diwacanakan: ”Wahai tuanku yang berbaik hati dan berniat baik pada awalnya, engkau telah menanam diriku dengan tujuan yang mulia. Wahai tuanku, inilah kuberikan tanda-tanda kepada tuanku bahwa daunku mulai menguning. Ketahuilah wahai tuanku, sebenar-benar yang terjadi pada diriku adalah aku sedang membutuhkan air”. Jadi elegi, apabila diteruskan menjadi elegi tumbuhan membutuhkan air. Dialog antara tumbuhan yang membutuhkan air. Awalnya elegi itu seperti itu. Soal spiritual, saya pernah tinggal di masjid selama 10 hari belajar ke sufi, menertibkan tata cara berdoa, ibadah dan sebagainya. Ketika intensif berdoa di situ, alamnya seperti itu, aku pun rasa-rasanya enggan pulang. Ingin saja tinggal di situ. Dan ketika itu, sensitivitas rohani atau hati saya itu sangat tinggi sehingga kemampuan metafisika itu muncul. Jangankan berdialog seperti tadi. Seseorang yang makan bakmi tidak berdoa dulu, terlihat seperti memakan cacing. Itu ketika spiritualku sangat tinggi. Tapi kalau sedang sibuk mengajar seperti sekarang ini, ingat berdoa setelah bakminya habis.

Suhariyono “Bagaimana beragama dalam filsafat, sedangkan para filsuf sendiri mungkin belum beragama?”
Beragama dalam sisi filsafat, ialah tetapkanlah dulu agama, keyaninan, hatimu, baru mulai menerbangkan layang-layang pikiran. Sebab apabila layang-layang sudah terbang jauh kita tidak punya patokan agama, nanti lepas talinya. Terbang kemana-mana. Jatuhlah ke negeri majusii, ke negeri kufar, dan seterusnya. Akhirnya kita ikut mereka. Maka sehebat-hebatnya manusia berpikir, walaupun manusia setengah dewa, tidak mungkin dia mmenuntaskan perasaannya. Banyak sekali kasus ketika anda merasakan sesuatu yang anda tidak mampu memikirkannya. Perasaan gelisah, empati, sedih negatif sampe gembira positif, rasa sayang dst. Maka pikiran itu hanya bisa mensupport spiritualisme. Maka silakan filsafat yang anda miliki dipakai untuk memperkuat dan memperkokoh  spiritual, sesuai dengan agamanya masing-masing. Maka di ayat dalam kitab suci disebutkan juga, betapa pentingnya orang cerdas, orang yang berpikir, dibandingkan dengan orang yang tidak cerdas. Karena orang yang tidak cerdas itupun menjadi sumber godaan setan. Godaan setan macam-macam, jadi fitnah, mengatakan yang tidak baik, dst.

Irfa Maalina: “Bagaimana filsafat menjelaskan ketetapan Tuhan?”
Pada akhirnya spiritual itu kembali pada dirimu masing-masing, karena spiritual itu urusan dirimu dengan Tuhan, Habluminallah. Dan juga ada tuntunan antara urusanmu dengan orang lain, Habluminannas. Kalau saya daripada artinya diluar kemampuan saya ya secara alami mengalir. Diriku, diri orang tuaku, diri keluargaku, diri pikiranku, diri pengalamanku. Tengoklah hal tersebut, seperti apa spiritualmu selama ini. Maka yang baik adalah masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang. Itulah tugas kita sebagai manusia untuk berikhtiar, mengetahui mana yang sokheh, mana yang kurang sokheh. Manusia itu terbatas, karena itu bertindaklah sesuai dengan ruang dan waktunya. Contohnya teknologi untuk menentukan satu syawal. Saya pun tidak bisa melakukan itu. Maka dari itu saya mengikuti saja. Yang paling mudah ya mengikuti aturan pemerintah. Kalau tidak ada, ya ikuti di kampung itu apa. Jadi segala macam spiritualitas itu bersifat postulat. Postulat itu adalah yang kemudian menjadi model diterapkan di dunia ini. Ditetapkan postulat-postulatnya. Dan kemudian manusia juga membuat postulat-postulat. Maka subyek menentukan postulat bagi obyeknya. Engkau juga membuat peraturan bagi adekmu. Seperti itu kira-kira, struktur berstruktur. Dirimu yang memahami struktur juga berstruktur. Struktur dirimu itu ternyata dinamis yang sedang menembus ruang dan waktu.

Bayuk Nusantara: “Pandangan Bapak tentang dalam filsafat tidak ada benar dan salah?”
Semuanya sesuai dengan pikiran manusia. Yang benar itu sesuai dengan ruang dan waktu atau tidak.

Tyas Kartiko Sutawi: “Jadi sebenarnya filsafat itu kompleks atau sederhana”
Ya kompleks ya sederhana. Tapi bukan jawaban seperti ini yang merupakan filsafat. Bagaimana penjelasanku menjawab yang komplek dan penjelasanku menjawab yang sederhana. Engkau pun bisa menerangkan. Itulah filsafatmu.  Filsafat itu sederhana sekali, cuma olah pikir, berpikir reflektif. Kamu mengerti, kamu sedang berpikir. Mau ditambahkan lagi boleh, pilarnya ada tiga, epistemologi, ontologi, aksiologi. Kompleks, karena intensif, sedalam-dalamnya bersifat radic, maka ada istilah radikalisme, ekstensif, karena luas seluas-luasnya, meliputi dunia dan akhirat, yang masih bisa engkau jangkau melalui pikiranmu. Setelah engkau tidak mampu memikirkannya, yasudah, gunakan alat yang lain, spiritualitas. Nah, dalam rangka menggapai kebenaran itu, ini, Francis Bacon: “knowledge is power”. Ada beberapa kendala orang itu mencapai kebenaran, kendala pasar (apa yang dipikirkan hirukpikuk masyarakat), kendala mitos, kendala panggung (apa yang orang katakan pada khalayak kemudian berlaku). Itu harus engkau cerna, harus engkau telaah. Itulah herannya saya, kenapa tidak ada yang bertanya tentang pertanyaan tadi. Berarti sudah ada kecenderungan engkau sudah terhipnotis dengan pertanyaan saya, dan itu menjadi benar final bagi dirimu. Padahal itu bukan kehendak dari berfilsafat ini. Kita harus membuat antitesisnya. Namanya orang menguji suka-suka. Coba, anda bisa menguji saya supaya saya nilainya nol, supaya mentalnya down, gitu. Saya membuat tes supaya anda tidak sombong. Tapi bukan berarti dengan mendapat nol lebih baik, itu namanya berhenti, mitos. Itulah maka harus berikhtiar dengan membaca elegi-elegi. Jangan Cuma membaca dalam mimpi, karena mimpi itu tidak bisa diukur konsistensinya, tidak koheren. Mimpi itu sebagian dari pengalamn tapi tidak sepenuhnya, jadi tidak korespodensi. Mimpi itu bukan persepsi, bisa diterangkan melalui teori berpikir. Tapi kalau yang menerangkan paranormal ya lain lagi. Hati-hati datang ke paranormal. Datang ke paranormal, imannya harus kokoh, harus kuat. Sama seperti datang ke Amerika, kalau imannya tidak kuat, kebiasaannya habis, kata-katamu habis, kegemaranmu habis, imannya menguat.”

Akhir kata Bapak supaya bisa menjadi ide, pemikiran, judul bebas supaya kami bisa kreatif. Bapak meminta maaf atas kekurangannya, kemudian kami menutup perkuliahan hari itu dengan berdoa. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar