TUGAS UJIAN AKHIR
SEMESTER
REFLEKSI MATA KULIAH
FILSAFAT ILMU
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Marsigit, M.
A.
Disusun
oleh:
Tyas
Kartiko Sutawi
15701251006
PENELITIAN DAN EVALUASI
PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2015
Pendahuluan
Mata
kuliah ini diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, M. A. Perkuliahan Filsafat Ilmu
dilaksanakan setiap hari Kamis pukul 07.30 – 09.10 di ruang 306 A Gedung Lama
Pascasarjana.
Filsafat
Ilmu merupakan salah satu mata kuliah yang didapatkan oleh setiap mahasiswa
magister di awal semester. Semula, saya menganggap bahwa filsafat merupakan
sebuah ilmu yang berat, yang sudah jelas bagaimana awalnya, tetapi menjadi
tidak jelas pada akhirnya. Hal tersebut diperkuat oleh beberapa sesi tanya
jawab singkat yang membuat saya kebingungan. Bagaimana istilah filsafat dari
berbagai disiplin ilmu, siapa tokoh dari filsafat tertentu, maupun siapa tokoh
yang berbicara jargon tertentu.
Salah
satu tes jawab singkat yang saya ingat adalah tentang bagaimana saya mengenal filsafat
sekaligus diri saya sendiri. Siapa saya dijawab oleh filsafat sebagai saya yang
relatif ruang dan waktu. Usia saya dijawab sebagai kurang lebih. Ada banyak
pertanyaan dan jawaban yang membuat saya agak sedikit berfikir, filsafat itu
seperti apa? Bagaimana menjawab semua pertanyaan yang Bapak berikan dengan baik
dan benar, sehingga tidak akan mendapat nilai 0? Dan yang terakhir adalah,
bagaimana saya bisa lulus dalam mata kuliah ini?
Perkuliahan Filsafat
Ilmu
Dalam
praktiknya, kuliah Filsafat Ilmu tidak selalu memiliki pola yang sama di setiap
perkuliahannya. Hal tersebut dibeberkan oleh Prof. Marsigit selaku pengampu
mata kuliah ini, sebagai upaya pemecahan mitos yang sering terjadi dalam
kegiatan perkuliahan yang lain. Setiap pertemuan diawali oleh doa. Kegiatan selanjutnya
tidak selalu sama setiap kali pertemuan. Kadang-kadang dilakukan tes jawab
singkat untuk mengenal filsafat lebih dalam, kadang-kadang juga Prof. Marsigit
menjelaskan materi. Seringkali Prof. Marsigit juga memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk mempersiapkan pertanyaan dan kemudian mempersilakan
mahasiswanya untuk bertanya sebelum akhirnya memilih penanya secara random.
Perkuliahan
Filsafat Ilmu dibagi ke dalam beberapa kali pertemuan. Beberapa pertemuan
memiliki rekaman untuk dapat didengarkan kembali di rumah dan kemudian
direfleksikan. Setiap mahasiswa bebas untuk memilih sendiri judul dari setiap
refleksi yang mereka buat.
Pertemuan
pertama membahas mengenai berfilsafat, belajar dan bersyukur, dilanjutkan
dengan beberapa pertemuan berikutnya yang membahas mengenai menembus ruang dan
waktu. Dalam pertemuan ini, Prof. Marsigit menjelaskan mengenai filsafat.
Filsafat merupakan cara berpikir kita untuk menemukan tesis, mencari anti-tesisnya
dan kemudian melakukan sintesis. Tesis meliputi apa yang kita dengarkan, kita
rasakan, kita sentuh, kita pikirkan, kita lihat, dan berarti bahwa tesis
merupakan segala hal yang ada dan mungkin ada. Itulah sebabnya filsafat
mempunyai dua obyek yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Obyek tersebut tidak
berhingga karena memiliki sifat yang juga tidak berhingga, karena mencakup yang
ada dan yang mungkin ada. Makin tinggi dimensi seseorang, maka semakin siap dia
menyebutkan lebih banyak obyek dibanding mereka yang dimensinya lebih rendah.
Setiap obyek memiliki wadah dan isinya masing-masing. Apabila tidak bisa
menyebutkan isinya, maka sebut saja wadahnya.
Filsafat
merupakan sebuah sintesis dari obyek-obyek yang ada dan yang mungkin ada
tersebut. Filsafat merupakan sintesis dari logika dan pengalaman. Jika hanya
sintesis dari logika saja, maka itu barulah separuh dunia. Jika hanya sintesis
dari pengalaman saja, itupun masih baru separuh dunia saja. Akan lengkap
apabila hidup kita diisi oleh berbagai sintesis antara logika dan pengalaman.
Itulah mengapa kita harus selalu mencari ilmu (pengetahuan) sekaligus
pengalaman hidup sehingga pemahaman kita akan dunia dapat menggapai genap. Harus
ada interaksi antara yang tetap dan yang berubah. Itulah sebenar-benar hidup.
Yang
tetap itu tokohnya Permenides, yang berubah Heraklitos. Yang itu bersifat
ideal, tokohnya Plato. Sedangkan yang
berubah bersifat realis, tokohnya Aristoteles. Tetap dan ideal itu salah satu
sifat daripada pikiran. Berubah atau realis adalah salah satu sifat dari
pengalaman atau berada di luar pikiran. Pikiran menghasilkan aksioma, sedangkan
realis menghasilkan kenyataan. Benarnya kenyataan, tetap, aksioma, pikiran,
ideal itu adalah konsisten. Benarnya realis, berubah, pengalaman itu adalah
korespondensi atau kecocokan.
Ada
dua macam persoalan filsafat, yaitu: Kalau yang kamu pikirkan ada dalam
pikiranmu, maka persoalan pertama adalah bagaimana kamu mampu menjelaskan pada
yang lain. Hal tersebut tentu sulit karena bermilyar-milyar kata tidak akan
cukup untuk menjelaskan apa yang ada di pikiranmu. Oleh sebab itu, kita hanya
mampu berusaha menjelaskan apa yang ada dalam pikiran kita. Sebenar-benar
berfilsafat adalah mencoba menjelaskan walaupun tidak benar-benar mampu untuk
menjelaskan. Itulah yang menyebabkan para filsuf menjadi rendah hati karena
selalu merasa tidak mampu. “Aku tidak mampu mengetahui apapun” (Aristoteles).
Persoalan kedua adalah, kalau apa yang kamu pikirkan tidak ada di dalam
pikiranmu, maka bagaimana kamu menjelaskan kepada orang lain?
Dengan
berfilsafat, kita mempunyai kesempatan untuk dapat berfikir secara intensif
(sedalam-dalamnya) dan secara ekstensif (seluas-luasnya). Dengan demikian,
filsafat membuka kesempatan bagi kita untuk berfikir secara terbuka, meluas dan
menyeluruh tentang berbagai fenomena maupun noumena yang terjadi dalam hidup
kita.
Sebuah
filsafat dipengaruhi oleh cara pandang yang berbeda, karena subyek yang
berfilsafatpun berbeda. Hal tersebut dikarenakan setiap orang mempunyai
filsafatnya masing-masing. Makin tinggi dimensi seseorang, maka semakin lengkap
pula filsafat yang orang tersebut coba untuk bangun. Oleh sebab itu, kita perlu
menggunakan metode hermeneutika, yaitu metode menerjemahkan-diterjemahkan.
Untuk mendukung pelaksanaan metode tersebut, maka kita perlu melakukan up-grade
pengetahuan, salah satunya adalah dengan banyak membaca.
Membaca
merupakan salah satu hal yang terus ditekankan oleh Prof. Marsigit dalam setiap
pertemuannya. Hal tersebut berkaitan dengan tugas yang diberikan oleh Prof.
Marsigit untuk berkomentar dalam artikel yang beliau tuliskan dalam blognya,
yaitu www.powermathematics.blogspot.com.
Ada ratusan artikel yang membahas mengenai berbagai fenomena pendidikan baik
itu matematika atau umum, maupun berbagai istilah-istilah filsafat, cara
pandang filsuf dan artikel lain yang berbentuk bacaan.
Prof.
Marsigit mempunyai penilaian tertentu mengenai jumlah komentar yang harus
diposting oleh mahasiswa. Mula-mula, penilaian tersebut saya anggap terlalu
berat, karena jika ingin mendapatkan nilai yang baik, maka jumlah komentar juga
harus banyak. Ditambah lagi, komentar yang diharapkan oleh Prof. Marsigit
bukanlah hanya sekedar komentar seperti dalam jejaring sosial, tetapi komentar
yang lebih bermutu. Memang, filsafat merupakan oleh pikir, sehingga berkomentar
dapat menjadi sarana bagi mahasiswa, khususnya saya, untuk belajar berfilsafat,
belajar melakukan olah pikir dan belajar menyintesiskan tesis dan antitesisnya
sehingga terbentuklah sebuah konsep atau pemikiran tentang suatu hal.
Filsafat
mempunyai dua prinsip berfikir, yaitu:
1. Prinsip
Identitas
Menurut
dua filsuf, prinsip identitas memaknai bahwa:
a. Semua
ada dalam pikiran. Apa yang terlihat hanyalah contoh. Prinsip berpikir ini
cocok diterapkan pada kegiatan menggali ilmu. Prinsip ini dikemukakan oleh
Plato.
b. Yang
ada adalah yang terlihat, yang dapat dipersepsi oleh pancaindra. Gaya berpikir
ini cocok untuk anak-anak dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip berpikir ini
dikemukakan oleh Aristoteles.
Kedua prinsip tersebut
tetap harus saling berinteraksi supaya lengkap dan utuh hasil pemikiran kita.
2. Prinsip
Kontradiksi
Contoh kasusnya adalah
rambut warna hitam, tapi selamanya sampai kiamat, hitam tidak pernah sama
dengan rambut. Tokoh filsafat yang terkenal dengan prinsip berpikir ini adalah
Imanuel Kant. Prinsip ini memandang sesuatu sebagai subjek, predikat dan objek.
Dalam matematika sendiri, kontradiksi berarti tidak logis. Namun dalam
filsafat, itulah sebenar-benarnya hidup. Karena filsafat percaya bahwa kamu
tidak akan pernah sama dengan namamu. Sangat gegabah, tidak teliti, elementer,
novis, orang yang mengatakan dirinya sama setiap waktu. Hanya Tuhan yang selalu
sama, dalam dimensi manapun.
Kedua
prinsip berpikir tersebut dapat menjadi dasar bagi kita seorang guru, untuk
memahami gaya belajar anak didik kita sehingga kita dapat mengajar dengan baik
dan benar. Demikian karena, banyak sekali guru yang tidak mau tahu bagaimana atau seperti apa
karakter anak didik mereka. Seringkali guru tidak memandang anak-anak
sebagaimana halnya seorang anak yang hanya dapat belajar dengan baik jika
disertai oleh pengalaman nyata tentang apa yang sedang mereka pelajari.
Filsafat
memberikan berbagai macam pandangan tentang segala sesuatu menurut cara pandang
seorang filsuf. Filsafat dapat kita gunakan untuk memandang segala hal yang
ingin kita lihat dan kita temui dalam hidup ini. Seperti misalnya dalam dunia
pendidikan, banyak pula guru yang tidak mengerti akan fallibisme. Fallibisme
mempercayai bahwa jika anak salah, itu adalah benar. Adalah benar jika seorang
anak tidak merasa mengerti sebuah konsep dalam pembelajaran apabila itu memang
belum masanya bagi anak itu untuk menerima materi tersebut. Adalah benar jika
seorang anak tidak mampu menyanyikan sebuah lagu dengan baik dan benar apabila
tidak diajari dulu bagaimana mengontrol intonasi.
Berfilsafat
berarti memaknai bahwa segala hal mempunyai tingkatan, segala hal memiliki
dimensi. Semakin ke bawah, maka pikiran akan semakin plural. Semakin naik maka
pikiran akan menjadi semakin tunggal, yang dapat kita sebut primakausa yakni
sebab yang pertama dan yang utama. Tiada pikiran tanpa pengalaman, tiada
pengalaman tanpa pikiran. Maka sebenar-benar ilmu adalah pikiran bersintesis
dengan pengalaman. Apabila pemikiran demikian dapat kita terapkan untuk membuat
sebuah Tesis (karya ilmiah-red), maka sebenar-benar Tesis adalah referensi
berinteraksi dengan bukti-bukti empiris, atau dapat dikatakan sebenar-benar
Tesis adalah landasan teori berinteraksi dengan data lapangan.
Sebuah
sintesis dapat menjadi sebuah tesis baru dan kemudian dapat kembali melakukan
sintesis sehingga menghasilkan ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan baru.
Hakikat ilmu atau pengetahuan pada akhirnya adalah sintetik apriori. Sintetik
itu bawah, apriori itu atas. Sintetik itu dunia, apriori pikiran, khayalan
sampai akhirat. Sintetik itu paham setelah melihat, mendengar, dipegang,
diminum dan berlaku hukum sebab akibat. Apabila diekstensikan, sintetik itu:
dunia, pengalaman, benda, tumbuhan, binatang, semua isi dunia. Satu makna
disitu berlaku hukum “ tiadalah segala sesuatu itu berdiri sendiri”. Artinya
bahwa ketika aku minum air terasa manis, manisnya gula dikarenakan air. Aku
bisa minum air karena gelas. Gelas ini karena kaca dst. Jadi setiap yang ada
dan yang mungkin ada, yang bisa dikatakan/ditunjuk adalah wakil daripada
dunianya. Maka dapat pula kita tambahkan kata ‘dunia’ di setiap apa yang ada
dan yang mungkin ada. Dunia seni, dunia pendidikan, dunia anak, karena yang ada
dan yang mungkin ada mewakili dunianya. Apabila ditarik ke depan, maka dapat
ditambahkan filsafat. Filsafat seni itu apa, filsafat pengalaman itu apa, dll.
Semua hal tersebut harus dicari. Setiap hal memiliki makna tertentu tergantung
persepsi kita tentang sesuatu tersebut. Tidak ada yang berdiri sendiri, isolated. Semua bermakna karena ada
makna yang lain. Kita mempunyai rasa gembira karena kita mengenal kesedihan.
Maka ketika mengajar, berilah siswa pengalaman yang lengkap sesuai ruang dan
waktunya.
Segala
hal yang ada dan yang mungkin ada mempunyai dua sifat. Selalu bersifat wadah
dan isi sekaligus. Apa yang kita tunjuk adalah isi sekaligus wadah. Apa yang
kita tunjuk mempunyai sifat yang tetap dan berubah sekaligus, bersifat
koeksisten. Salah satu sifat secara psikologi, yang merupakan persepsi. Maka
yang ada di bawah, di bumi itu dunia persepsi, karena bisa dipahami setelah
dipersepsi. Dunia yangdi bawah, sintetik tadi dapat menjadi aposteriori. Yang
di atas analitik apriori.
Sebagai
contoh untuk Aposteriori, kita bisa merasakan manis dalam air teh karena telah
meminumnya. Secara Apriori, belum diminum pun sudah bisa menentukan kalau itu
manis, memakai logika. Apriori bisa menjadi bahaya bila tidak digunakan secara
sesuai, contohnya cari jodoh di media sosial. Analitik yang dipikirkan itu
dasarnya konsistensi. Konsistensi, matematika, logika semuanya koheren, tidak
terjadi kontradksi. Kalau orang memasukkan gula ke dalam iair, logikanya maka
akan manis. Itu konsisten, kebenaran. Orang yang mencari kebenaran kalau hanya
memakai pikiran saja tidak cukup. Bahkan kebenaran saja tidak cukup. Maka dari
itu filsafat memberikn kesempatan untuk bereksperimen. Hidup ini kalau hanya
pikiran saja: apa yang terjadi, kalau hanya pengalaman saja: apa yang terjadi?
Pengetahuan akan lebih kokoh, karena dilogikakan dan disertai pengalaman.
Pengalaman
itu separuh dunia. Membangun pengetahuan itu separuhnya pengalaman separuh lagi
di atas adalah logika. Maka berfilsafat itu adalah praktik dari pikiran dan
pengalaman kita. Jadi itu dinamika setiap hari. Maka sebenar-benar hidup adalah
interaksi antara olah pikir dan pengalaman.
Dokter
yang melayani kesehatan lewat radio melayani praktik via telpon dimana dia menggunakan
metode analitik apriori. Apriori bisa memikirkan walaupun tidak melihat pasirn.
Hanya dari pengetahuan kedokteran. Tapi sebaliknya dokter hewan. Meriksa sapi
yang sakit. Tidak bisa ditanya sang sakit, setelah dipegang dilihat, baru dapat
dipikirkan sakitnya sapi itu. Dokter menggunakan sintetetik aposteriori,
kehidupan pengalaman, yang di atas naik ke atas cenderung konsisiten, naik lagi
spiritual, naik terus nilai kebenaran adalah tunggal monoisme kuasa Tuhan.
Diturunkan
terus ke bawah sintetik apriori, dunia kontradiksi ada di hidup ini, segalanya
berubah sesuai dengan ruang dan waktunya, sesuai dengan dimensinya.
Imanuel Kant berusaha mendamaikan langit dan bumi. Langit itu konsisten,
dewa itu konsisten. Semakin tinggi, semakin kecil kontradiksi, sebenar-benar
tidak ada kontrasiksi absolut itu hanyalah Tuhan. Semakin turun semakin besar
kontradiksi. Maka kontradiksi itu adalah predikatnya. Kant mendamaikan kedua
dunia tersebut dengan mengambil aproiri
dari atas, dan diambillah sintetik dari
dunia bawah. Sebuah ilmumu akan lengkap dan kokoh kalau bersifat sintetik
apriori. Jadi orang matematika murni tidak bahagia karena tidak bisa dikatakan
sebagai ilmu saja. Oleh karena itu ada metode saintifik, dicoba itu sintetik,
disimpulkan apriori. Sifatnya pengetahuan yang di dalam pikiran itu analitik,
ukuran kebenarannya konsistensi, sedangkan sifat dari pengetahuan pengalaman
adalah sintetik dan tidak boleh bersifat kontradiksi. Tapi dengan kontradiksi
akan muncul produk baru. Jadi kalau identitias itu hanya malaikat, imannya
tetap menurut para Kiai. Tapi manusia kontradiktif karena imannya naik-turun.
Jika
kita membahas filsafat dari awal sampai akhir, kita dapat menemukan bahwa, jika
yang diatas ditarik
ke belakang, akan selaras dengan hal-hal yang ada dalam pikiran. Itulah mengapa
matematika murni itu obyeknya benda pikir, karena terbebas ruang dan waktu.
Itulah duina pikiran bersifat ideal, tetap, menuju kesempurnaan. Maka itu akan
tersapu habis semua tokoh filsafat
sampai ujung yunani sana yang berkemistri dengan ide –ide dalam pikiran,
mulai dari absolutisme, tetap dengan
tokoh Permenides, rasionalisme
yaitu Rene Descartes,
perfecsionisme dst. Karena semakin ke atas, dunia semakin berupa dunia
transenden, maka semua filsuf yang berchemistry dengan
transenden itu termasuk golongan langit. Ini adalah termasuk ilmu – ilmu
filsafat juga, spiritual, ilmunya para dewa.
Sebagai
seorang guru maupun calon guru, kita dapat pula menjumpai uniknya pendidikan
karena kita berkutat dengan dunia dan kegiatan anak kecil. Anak kecil itu dunia
bawah. Dunia di luar pikiran, konkrit, dunia pengalaman, ilmu bagi anak kecil
bukan ilmu orang dewasa. So, art is for
art, music is music, itu hanya
untuk orang dewasa. Seni hanya untuk dipandang
merupakan seni bertaraf medium. Jika ingin membuat sebuah pameran untuk anak
kecil, harus disesuaikan pula dengan kebutuhan dan pola pikir anak kecil. Tidak
boleh marah ketika sedang mengadakan konser bertemakan dunia anakdan mengundang
anak-anak, ada banyak anak-anak yang berlari-lari atau ikut menari atau ikut
bernyanyi ketika musik sedang dimainkan.
Hakikat
ilmu untuk anak adalah activity.
Seninya anak kecil itu activity. Anak
kecil tidak akan mengerti bila guru memberikan teori tentang seni. Anak tidak
akan bisa menjawab seni itu apa, musik itu apa, jika tidak pernah bermain
musik, tidak pernah memainkan alat musik, atau tidak pernah mendengar musik
dalam kegiatan pembelajaran mereka.
Sayangnya,
pendidikan kita itu relevan dengan UAN. Secara kontradiktif, ujian akhir
tersebut tidak mendukung proses pembelajaran berbasis kreatifitas dalam
berkegiatan. Intuisi anak tercerabut, dan secara tidak langsung dipaksa untuk
berperilaku secara instan
dan tidak sehat masuk dunianya orang dewasa. Visi yang mulia bagi pendidik
adalah bagaimana bisa melindungi anak didik dari kesemena-menaan metode
mendidik yang tidak mendukung dunia anak dalam pendidikan.
Mendidik
itu bukan merupakan sebuah ambisi untuk menjadikan
siswa sama seperti gurunya. Mendidik adalah mencari cara supaya siswa dapat
berkembang menjadi dirinya sendiri, sesuai dengan karakter kebangsaan yang
seharusnya kita masukkan juga dalam pembelajaran di sekolah maupun di rumah.
Fungsi guru adalah memfasilitasi. Guru harus bekerja dengan menggunakan prinsip
ada, mengada dan pengada. Ada itu potensi, mengada itu ikhtiar, dan pengada
adalah produknya.
Ilmu
dan hakekatnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ilmu pengetahuan
subyektif dan ilmu pengetahuan obyektif. Setiap ilmu yang kita miliki hasil
daripada sintesis kita hanya baru menjadi sebuah pengetahuan subyektif saja,
karena hanya kita yang mempunyai kebenaran akan ilmu tersebut. Pengetahuan
subyektif tersebut harus kita sosialisasikan untuk kemudian dikritisi oleh
orang lain atau pakar-pakar supaya dapat menjadi sebuah pengetahuan obyektif.
Proses obyektivitas pengetahuan tersebut memberikan kesempatan bagi kita untuk
juga sekaligus dapat belajar menerima kesalahan dan memperbaikinya, bukannya
bersungut-sungut mempertahankan apa yang kita percayai adalah kebenaran mutlak,
menurut pandangan kita sendiri.
Sebuah
pandangan pribadi tidak bisa dipaksakan menjadi sebuah kebenaran bagi orang
lain, karena pandangan pribadi memiliki kelemahan. Setiap manusia tidaklah
sempurna sehingga tidak dapat memikirkan segala sesuatu secara bersamaan.
Manusia akan selalu melakukan reduksi dalam hidupnya sehari-hari. Reduksi itu
dapat mencakup wadah maupun isi, obyek maupun subyek. Yang berbahaya adalah
ketika manusia menganggap hasil reduksi tentang hidupnya tersebut merupakan
sebuah standar bagi kehidupan orang lain. Dalam kegiatan pembelajaran, guru
tidak mungkin lepas dari kegiatan reduksi. Reduksi materi pembelajaran, reduksi
waktu pembelajaran, reduksi budget pembelajaran ataupun reduksi sifat dari subyek
yang belajar. Guru seringkali memandang siswa secara reduksi. Siswa tersebut
selalu mendapat nilai buruk, pasti karena malas. Siswa tersebut pintar karena
selalu mendapat nilai yang baik. Siswa tersebut pendiam karena tidak memiliki
minat dan motivasi.
Ada
banyak sekali reduksi guru yang membahayakan hidup siswa secara keseluruhan,
atau bahkan bisa pula mempengaruhi mental belajar si anak. Nilai buruk anak
bukan berarti karena dia malas, tapi bisa dikarenakan dia rajin membantu
orangtua membiayai hidup mereka sehingga tidak sempat mengulang pelajaran di
rumah. Siswa yang selalu mendapat nilai baik belum tentu pintar, karena bisa
saja dia selalu mencontek dan mendapatkan jawaban sebelum waktunya. Siswa
pendiam belum tentu tidak memiliki minat dan motivasi, karena mungkin saja dia
berminat dan termotivasi tetapi tidak mengerti apa yang guru jelaskan dan malu
untuk bertanya.
Perlunya
mempelajari filsafat, apalagi bagi kita seorang guru maupun calon guru adalah
bagaimana dengan berbagai macam pandangan, khususnya pandangan para filsuf,
kita dapat memahami fenomena yang ada di sekitar kita, khususnya dalam bidang
pendidikan. Tiadalah berfilsafat apabila tidak melalui filsafat para filsuf.
Setiap
yang ada dan mungkin ada adalah wakil dari dunianya, maka filsuf adalah wakil
dari dunianya. Maka dari itu, filsafat tidak boleh pilih-pilih. Jika ingin
belajar kontempoter pasti tetap membahas yang klasik. Ingin belajar Aristoteles
pasti melalui Descartes. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa para filsuf
mempunyai kebenarannya masing-masing. Jangankan para filsuf, para dosen, guru,
bahkan mahasiswa dan siswa pun mempunyai kebenarannya masing-masing. Hanya
masalah taraf bacaan, pikiran, ruang dan
dimensi saja yang membedakan.
Dalam
perjalanan untuk berfilsafat, ada empat godaan ketika ingin mengintensifkan dan
mengekstensifkan filsafat, yaitu: latarbelakang dirimu (menganggap dirimu benar),
godaan panggung (apa yang orang katakan pada khalayak kemudian berlaku), godaan
pasar (apa yang dipikirkan hirukpikuk masyarakat), godaan otoritas (selalu ikut
atasan). Itulah godaan orang mencari kebenaran. Setiap orang dapat mempunyai
otoritas masing-masing. Hal tersebutlah yang memberikan jalan untuk terciptanya
sebuah mitos.
Berfilsafat
merupakan sebuah sarana bagi kita untuk mengubah mitos menjadi logos. Hanya
saja, terkadang orang merasa bingung, bagaimana cara melakukannya melalui
filsafat. Dalam filsafat, segala sesuatu itu mempunyai struktur. Pagi dan sore
itu struktur dunia. Siang dan malam itu juga adalah struktur dunia. Laki-laki
perempuan itu struktur dunia. Logika pengalaman itu struktur dunia. Dalam
filsafat, kita lakukan abstraksi, mana struktur yang bisa dipakai untuk
membangun dunia. Dari abstraksi tersebut, dapat kita temukan bahwa strukturnya
para filsuf dapat kita pakai untuk membangun. Itulah strukturnya. Segala
sesuatu, baik itu dunia maupun akhirat, adalah penuh dengan struktur.
Jadi
secara filsafat apabila ingin menjawab suatu pertanyaan, begitu kita bertanya
di satu tempat,dengan kesadaran full of
structure tersebut, pertanyaan tersebut bisa menjadi terang benderang
kedudukannya. Misalnya, wadah itu ada dimana? Tergantung strukturnya, bisa
siang bisa malam, bisa laki bisa perempuan. Kelembutan itu wadahnya perempuan.
Kesigapan dan keperkasaan itu laki-laki.
Dia perkasa tapi penakut, berarti wadahnya, isinya penakut, kontradiksi.
Apabila
berhubungan dengan pikiran dan pengalaman, wadah itu ada dimana pengalaman atau
pikiran? Ternyata wadah itu ada di mana-mana. Yang kita pikirkan dan katakan
itu adalah wadah sekaligus isi. Kenapa isi? Karena setiap kali kita sebutkan
itu mempunyai sifat. Segala sesuatu mempunyai sifat. Merah saja dapat mempunyai
bermilyar sifatnya. Maka dunia itu adalah penuh dengan sifat. Setiap sifat
adalah wakil dari strukturnya. Maka sebenar-benar hidup adalah sifat itu
sendiri. Jadi kita dapat selalu bisa mendefinisikan apa itu hidup dari yang ada
dan yang mungkin ada. Maka berfilsafat itu tujuannya menyadari adanya struktur.
Apabila
ingin mengukur, filsafat merupakan olah pikir yang sederhana sekaligus
kompleks. Menurut Prof. Marsigit, filsafat itu sederhana sekali, cuma olah
pikir, berpikir reflektif. Ketika kamu mengerti, maka kamu sedang berpikir. Apabila
ditambahkan lagi, pilar filsafat ada tiga, yakni epistemologi, ontologi dan
aksiologi. Kompleks, karena intensif, sedalam-dalamnya bersifat radic, maka ada istilah radikalisme. Ekstensif,
karena luas seluas-luasnya, meliputi dunia dan akhirat, yang masih bisa kita
jangkau melalui pikiran.
Setelah
kita tidak mampu memikirkannya, yasudah, gunakan alat yang lain, yakni spiritualitas.
Dalam rangka menggapai kebenaran itu, Francis Bacon mengatakan bahwa: “knowledge is power”. Manusia harus
mampu menghadapi dan menyelesaikan kendala-kendala yang ada dalam setiap proses
tersebut. Itu harus kita cerna dan kita telaah. Jangan hanya berikhtiar dalam
mimpi, karena mimpi itu tidak bisa diukur konsistensinya, tidak koheren. Mimpi
itu sebagian dari pengalamn tapi tidak sepenuhnya, jadi tidak korespondensi.
Mimpi itu bukan persepsi, bisa diterangkan melalui teori berpikir.
Dalam
sejarahnya berfilsafat, kita dapat bertemu dengan sebuah bendungan Compte.
Segala macam persoalan mulai di situ. Compte berpendapat bahwa agama tidak bisa
dipakai untuk membangun dunia karena tidak logis, irasional. Apabila ingin
membangun dunia, kita harus memakai metode positivisme atau dikenal dengan
metode saintifik. Saintifik itu asal mula dari positivisme.
Didukung
oleh ilmu dasar sehingga menghasilkan teknologi. Ini menjadi paradigma
alternatif, termasuk Indonesia. Indonesia dicerminkan oleh struktur material,
formal, normatif dan spiritual. Itu merupakan cita-cita dari filsafat Pancasila
atau monodualis. Aku dengan Tuhan serta aku dan masyarakatku. Namun melintaslah
positivisme yang tidak kita sadari. August Compte dengan positivisme itu telah
menjelma menjadi powernow. Mulai dari bangunan archaic, tribal, tradisional,
feodal, modern, postmodern, dst atau kita bahasakan sebagai power now.
Indonesia tidak mempunyai gambaran dalam struktur powernow, kecuali mendapat
limbah dari powernow. Semua struktur itu berpilarkan kapitalisme, pragmatisme,
utilitarianisme, hedonisme, materialisme, liberalisme, saintisisme kemudian
saintifik. Jadi metode saintifik itu adalah lambang ketidakberdayaan Indonesia
bergaul dengan powernow. Contohnya adalah orang yang melupakan realitas hidup
gara-gara HP baru. Bukan di Perancis, tapi di sini. Apabila sampai lupa
beribadah, maka spiritualisme sudah dimarjinalkan, sudah termakan produk
hedonisme itu.
Apabila
diandaikan, kita adalah ikan yang tinggal dalam polusi kontemporer. Kita bukan
sembarang ikan. Maka dikisahkan cerita Dewa Ruci. Sang Bima mencari ilmu di
dasar laut, banyu panguripan, air yang belum tercemar. Padalah tidak sembarang
ikan bisa turun ke dasar sana. Harus pakai ilmu dan pengetahuan. Seperti diri
kita, tergelepar seperti ikan. Seperti Bima, kita harus paham dan melampaui
kontradiksi. Hidup ini adalah kontradiksi. Contohnya adalah orang yang masuk ke
air, keluar sudah telentang. Berarti dia tidak menggunakan teknologi. Filsafat
mencoba membuat teknologi supaya ketika masuk ke dalam air, bisa selamat dan
survive. Jadi berfilsafat itu mencari alat. Sehingga kita bisa memilih dan
memilah, tidak hanya sekedar limbah kapital atau hedonis dst saja. Contohnya
kesibukan kita menghalangi kewajiban sebagai anggota masyarakat atau keluarga.
Maka kita harus seimbang interaksi antara makro dan mikro.
Setiap
hari Indonesia digempur oleh Power Now sehingga tidak mempunyai jati diri.
Dipengaruhi juga oleh pemimpin sejak dari jaman dulu yang banyak tergoda.
Indonesia bergaul dengan mereka tidaklah murah. Bahasanya hanya satu, yaitu
investasi. Tapi hal tersebut belum tentu bisa menghibur. Indonesia belum bisa
menjawab tantangan karena Indonesia belum berkarakter,masih menjadi objek dari
subjeknya, sehingga begini salah, begitu salah, apalagi begini. Orang jawa
punya solusi ngono yo ngono ning ojo ngono. Tapi itu merupakan solusi orang
lemah. Kita bergaul dengan mereka harus penuh dengan sesaji. Itulah kita itu
bangsa yang lemah sehingga pakarnya menjadi lemah, pemikirnya menjadi lemah,
saintifiknya tidak berkarakter. Mengapa bisa begitu? Karena apabila kita cari,
dari seluruh metode saintifik di dunia, pasti ada yang namanya hipotesis. Di
Indonesia malah ditiadakan karena takut dan khawatir terlalu tinggi, takut
ditolah oleh para ahli dan masyarakat. Maka dalam kurtilas, hipotesis dihapus
dan diganti dengan menanya sehingga tidak berarti. Padahal yang benar, menanya
itu untuk membuat hipotesis. Kesempatan berpendapat terbuka luas. Itulah metode
saintifik. Hanya sepertiga dari ilmu humaniora, sepertiga dari hermeneutika.
Karena hermeunetika itu mengembang, linier dan siklik. Dalam titik ada tiga
elemen: elemen menukik (mendalami, intensif,pakai metode saintifik), elemen
mendatar itu membudayakan; senin bertemu senin, kamis bertemu kamis, dan elemen
mengembang membangun dunia. Kalau matematika membangun konsep, membangun rumus.
Apabila kita membangun dunia belum jelas seperti apa bangunannya, kita harus
banyak baca, baca dan baca. Ikan ya ikan, tapi lebih baik membangun kesadaran
untuk memilih jenis-jenis airnya, apalagi mencari air yang masih bersih yang
tidak tercemar. Bukan hanya untuk ikan itu sendiri, tapi juga untuk keturanan,
generasi berikutnya. Apabila kita paham dan sadar, mudah-mudahan keturunan kita
akan menjadi paham dan sadar, termasuk lingkungan, murid-murid kita dan
seterusnya.
Tidak
jarang dalam berfilsafat, orang merasa bingung, atau bahkan merasa goyah akan
pemikirannya sendiri. Karena itu, sebelum berfilsafat kita harus menetapkan
hati sebagai komandan sebelum mengembarakan pikiran kita laksana layang-layang.
Kacaunya pikiran kita merupakan awal dari sebuah ilmu, tapi jangan sampai
kekacauan itu turun ke dalam hati karena kacaunya hati adalah awal tanda
bersemayamnya setan dalam jiwa. Kita mungkin saja tidak tahu kalau setan
mempunyai dimensi, maka setan dapat berevolusi dan berpikir secara efisien
untuk bisa menggoyahkan iman sesuai kualifikasi yang kita punya. Siapa tahu?
Penutup
Semoga
perkuliahan ini dapat memberi bekal kepada kami untuk dapat belajar berolah
pikir memahami setiap fenomena yang ada dalam kehidupan. Merupakan sebuah
manfaat apabila pemikiran para filsuf yang telah kami kenal sedikit demi
sedikit melalui proses pembelajaran filsafat ilmu, dapat kami terapkan dalam
konteksnya sesuai dengan ruang dan waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar